Proses Perkembangan Ilmu Fiqih
(Fase Pasca Keruntuhan Baghdad - Kontemporer)
Oleh: Ahmad Faisal, Lc, M.E
Pasang-surut ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh berbagai keadaan yang mengelilinginya. Pasca keruntuhan Baghdad, dunia Islam mengalami kelemahan yang parah di berbagai sisi. Serangan Mongol tidak hanya merusak bangunan dan manusia tapi juga berbagai aset ilmu pengetahuan.
Namun dengan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala umat Islam selalu mampu bertahan dan bangkit dari setiap kejatuhannya. Di tengah berbagai goncangan, masih muncul ulama-ulama yang menjaga dan menghidupkan ilmu syariah khususnya fiqih. Tak jauh pasca keruntuhan Baghdad, muncul sosok seperti Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Ahmad bin Abdul Halim (Ibnu Taimiyyah), Ibnul Qayyim, Suyuthi dan lain-lain. Mereka para ulama yang mencapai level mujtahid namun tetap bernaung mengikuti madzhab-madzhab fiqih yang sudah paten tetapi mereka punya hasil ijtihad sendiri di beberapa persoalan.
Di masa tersebut juga menyebar banyak matan, ringkasan dan syarah dari buku-buku fiqih induk yang tebal bahkan diringkas lagi menjadi nazham syair agar bisa dihafal. Dalam hal bermadzhab fiqih, ada 2 sikap yang muncul, satu golongan menyerukan untuk ijtihad mandiri menggali langsung dari Al-Quran dan As-Sunnah tanpa harus terikat madzhab tertentu, sedangkan golongan lain tetap memandang bahwa berpatok pada madzhab fiqih tetaplah utama.
Setelah Khilafah diserahkan kepada Sultan dari Utsmaniyyah, maka kepemimpinan Islam pun terpusat pada Khilafah Utsmaniyyah. Khilafah Utsmaniyyah lebih menonjol dalam hal militer dan jihad fisik karena tantangan yang dihadapi saat itu berupa kekuatan besar kerajaan-kerajaan Kristen di Eropa. Berbeda dengan Khilafah Abbasiyyah yang menonjol dalam pengembangan ilmu pengetahuan karena kondisi saat itu yang menghadapi keragaman budaya dan pemikiran. Di masa Utsmaniyyah, banyak melahirkan penaklukan-penaklukan besar hingga menembus jantung Romawi.
Meskipun Khilafah Utsmaniyyah lebih menonjol dalam bidang militer, tetapi ada juga perkembangan dalam ilmu fiqih seperti transformasi hukum Islam dalam bentuk undang-undang legal, penerapan hukum tertentu melalui departemen pemerintahan dan penerbitan majalah fiqih untuk membahas isu-isu baru.
Majalah Ahkam ‘Adliyyah adalah majalah fiqih terkemuka di masa Khilafah Utsmaniyyah yang disusun oleh para ahli fiqih. Majalah tersebut menjadi rujukan dalam penerapan hukum Islam. Majalah ini juga disyarah oleh Salim Rustum Baz Al-Lubnani (anggota syura negara Utsmaniyyah). Majalah ini membahas ribuan pembahasan terkait muamalah, ekonomi, pengadilan dan lain-lain.
Perkembangan ilmu terus terjaga di pusat-pusat keIslaman seperti Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjid Al-Aqsha, Jami’ Umawi di Damaskus, Al-Azhar Kairo dan Az-Zaitunah Tunisia.
Di masa-masa akhir Khilafah Utsmaniyyah, muncul seorang ulama mujtahid dan mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab di Jazirah Arab. Dengan kesungguhannya dalam menegakkan tauhid dan sunnah serta menghilangkan syirik dan bid’ah, maka hadirlah kebangkitan baru bagi pergerakan Islam di abad 18. Allah hadirkan pula Raja Muhammad bin Su’ud yang menolong dakwah beliau sehingga mampu menyatukan berbagai wilayah Arab dalam satu pemerintahan Islam.
Ketika Khilafah Utsmaniyyah runtuh pada 3 Maret 1924 melalui pengkhianatan Mustafa Kemal, dunia Islam pun terguncang dari timur hingga ke barat. Setelah itu muncul pergerakan-pergerakan Islam untuk merespon berbagai problematika umat Islam. Inilah awal mula fase kontemporer (abad 20-21).
Beberapa ulama ahli fiqih berperan aktif menjawab isu-isu baru di bidang politik, militer, ekonomi, pemikiran, sosial dan lain-lain. Sebagian berperan secara pribadi dan sebagian berperan melalui wadah organisasi. Ada Taqiyuddin An-Nabhani dengan Hizbut Tahrir, Yusuf Qardhawi dengan Ikhwanul Muslimin, Hasyim Asy’ari dengan Nahdhatul Ulama, Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyyah dan lain-lain. Yang bergerak dengan secara pribadi seperti Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Shalih bin ‘Utsaimin, Wahbah Zuhaili dan lain-lain. Ulama fiqih di masa kontemporer menghadapi perubahan problematika yang sangat drastis dan kompleks akibat terjadinya revolusi industri, kolonialisme dan globalisasi.
Meski wilayah Islam terpecah menjadi beberapa negara, ulama kaum muslimin tetap berusaha menyatukan langkah dalam membimbing seluruh kaum muslimin menghadapi isu-isu modern. Lalu dibentuklah forum atau organisasi perkumpulan ulama fiqih seperti:
- Majma’ Fiqih Islami di Mekkah yang menginduk pada Organisasi Kerjasama Islam (OKI).
- Majma’ Buhuts Islamiyyah di Al-Azhar Kairo.
- Konferensi Fiqih Islam yang melibatkan seluruh ulama dari berbagai wilayah. Konferensi ini membahas masalah ekonomi, pengadilan, hukum negara dan usaha-usaha penerapan syariah Islam. Rekomendasi dari konferensi ini memiliki pengaruh besar dalam perkembangan penerapan hukum Islam di berbagai wilayah kaum muslimin.
Ada beberapa ciri khas ilmu fiqih di fase kontemporer:
Banyak mengkaji berbagai pendapat fiqih antar madzhab dengan analisa perbandingan. Buku-buku dan mausu’ah (ensiklopedia) yang mencakup berbagai pendapat lintas madzhab pun bermunculan di fase ini.
Menonjolkan ijtihad jama’i. Para ulama di fase-fase sebelumnya cenderung berijtihad secara individu dikarenakan kelengkapan ilmu ijtihad yang dimiliki dan kondisi permasalahan yang belum terlalu kompleks. Adapun di fase kontemporer, sulit menemukan seorang ulama yang memiliki kelengkapan semua ilmu ijtihad dalam satu individu karena kondisi kehidupan yang sering tidak stabil serta perincian ilmu syariah yang semakin luas dan kompleks. Permasalahan yang dihadapi pun baru dan rinci serta perlu melibatkan berbagai ahli di bidang yang dibahas. Maka ijtihad jama’i pun menjadi keniscayaan untuk mencapai hukum dan fatwa fiqih yang paling akurat. Ijtihad jama’i ada yang dilakukan oleh ulama dalam negeri untuk menjawab isu lokal ataupun ulama lintas negara untuk menjawab isu internasional.
Banyak membahas isu-isu ekonomi, sosial, politik dan pemikiran-pemikiran Barat yang merasuki kaum muslimin.
Penguasaan kaidah fiqih, ushul fiqih dan maqashid syari’ah menjadi sangat penting sebagai rumusan dan batasan dalam menjawab permasalahan kontemporer yang selalu baru & cepat berkembang.
Referensi:
د. ناصر بن عقيل الطريفي, تاريخ الفقه الإسلامي (الرياض: مكتبة التوبة, 1418)