Proses Perkembangan Ilmu Fiqih
(Fase Khulafaur Rasyidun)
Oleh: Ahmad Faisal, Lc, M.E
Fase ini merupakan lanjutan yang sangat erat dengan fase Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwasiat,
عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي، عضوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور
Wajib atas kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidun yang mendapat petunjuk setelah ku, gigitlah ia dengan gigi geraham dan waspadalah pada perkara yang diada-adakan dalam agama {HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah}.
Sudah maklum bagi umat Islam bahwa Khulafaur Rasyidun adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ada juga yang menambahkan Hasan bin Ali sebagai urutan kelima dalam jajaran Khulafaur Rasyidun sehingga genap masa kepemimpinan mereka semua menjadi 30 tahun.
Nabi Muhammad mengarahkan kita untuk mengikuti sunnah Khulafaur Rasyidun karena merekalah orang-orang yang luas ilmu, paling paham dan paling konsisten pada Islam yang diajarkan Nabi Muhammad.
Khulafaur Rasyidun telah mencontohkan dan mengajarkan cara terbaik dalam memahami hukum-hukum fiqih yang terkandung dalam Al-Quran dan As-Sunnah dan memahami cara menerapkannya pada peristiwa-peristiwa baru. Cara mereka adalah memahami secara utuh permasalahan yang terjadi lalu menghubungkannya dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Jika mereka belum menemukan hukumnya maka mereka mengumpulkan para sahabat yang alim untuk bermusyawarah dan menggali hadits-hadits yang pernah dihafal dari Nabi Muhammad. Untuk peristiwa baru yang belum ditemukan secara kontras dalam teks Al-Quran dan As-Sunnah, maka Khulafaur Rasyidun berunding dengan para sahabat untuk mencari kesamaan atau kemiripan peristiwa baru dengan hukum yang sudah ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah secara tekstual maupun kontekstual. Mereka juga berusaha memahami maqashidus syari’ah (maksud syariah) yang terkandung dalam hukum. Dengan cara demikian, maslahat kaum muslimin tetap terjaga dalam menghadapi permasalahan baru berdasarkan panduan Islam.
Proses di atas disebut ijtihad. Ijtihad tersebut merupakan sebuah keharusan, sebab teks Al-Quran dan As-Sunnah terbatas jumlahnya sedangkan permasalahan baru terus bermunculan. Maka ijtihad merupakan tugas ulama mujtahid untuk mendapatkan hukum dari makna umum dan global yang ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Contoh peristiwa baru yang dihadapi Khulafaur Rasyidun: bagian waris untuk nenek, denda karena merusak jari dan lain-lain. Berkembangnya permasalahan terjadi seiring berkembangnya wilayah kekuasaan Islam.
Fase ini memiliki 2 keistimewaan:
1. Meletakkan rumusan dasar ijtihad yang benar berdasarkan yang diajarkan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Memiliki fiqih Al-Quran yang kuat.
Diantara para sahabat ada yang ahli berfatwa dalam permasalahan fiqih dan mereka terbagi menjadi 3 golongan:
1. Muktsirûn (sahabat yang jumlah fatwanya banyak) seperti Umar, Ali, Abdullah bin Mas’ud, Aisyah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar dan Zaid bin Tsabit.
2. Mutawassithûn (sahabat yang jumlah fatwanya menengah) seperti Abu Bakar, Ummu Salamah, Anas bin Malik, Abu Hurairah, Utsman bin Affan, Salman Al-Farisi dan Mu’adz bin Jabal.
3. Muqillûn (sahabat yang jumlah fatwanya sedikit) seperti Abu Darda, Abu Ubaidah Al-Jarrah, Abu Dzar, Hafshah binti Umar dan Amru bin Al-‘Ash.
Dari sejumlah para sahabat yang ahli fiqih, ada 4 sahabat yang menjadi pusat pengkajian dan penyebaran fiqih yang kelak menjadi cikal bakal madrasah-madrasah fiqih yang awal. Ada Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar di Madinah. Ada Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) di Mekkah. Ada Abdullah bin Mas’ud di Irak. Kemudian setelahnya berkembang dua pusat fiqih di dunia Islam saat itu: Madrasah Hijaz (Mekkah dan Madinah) dan Madrasah Irak.
Referensi:
د. ناصر بن عقيل الطريفي, تاريخ الفقه الإسلامي (الرياض: مكتبة التوبة, 1418)