Najis

Najis secara bahasa bermakna semua hal yang kotor dan menjijikkan. Adapun secara istilah najis adalah

كل مستقذر يمنع صحة الصلاة حيث لا مرخّص

Semua hal yang kotor dan menjijikkan yang bisa menghalangi sahnya shalat serta tidak masuk dalam rukhsah.

Maksud dari kalimat serta tidak masuk dalam rukhsah bahwa ada najis yang mendapat keringanan untuk dimaafkan seperti darah yang sedikit, yang tidak terlihat dan lain-lain.

Dalam kitab Shofwatu Zubad disebutkan secara spesifik benda-benda yang termasuk najis yaitu: air kencing, kotoran BAB, darah, muntah, nanah, wadi, madzi, khamr, nabidz, cairan memabukkan, anjing, babi, keturunan anjing atau babi, bangkai (daging, bulu dan tulangnya), susu dari hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya, bulu hewan yang tidak boleh dimakan ketika masih hidup dan terpisah dari badannya dan cairan yang keluar dari lambung.

Pembahasan-Pembahasan Terkait

·           Khamr: minuman yang diambil dari perasan anggur.

·           Nabidz: minuman yang diambil dari perasan selain anggur.

·          Khamr ada yang berbentuk cair dan padat. Keduanya haram untuk dikonsumsi, tetapi khamr yang cair statusnya najis dan menghalangi sahnya shalat sedangkan khamr padat status zatnya suci dan tidak menghalangi sahnya shalat.

·           Bangkai adalah hewan yang mati tanpa proses penyembelihan yang sesuai syariah.

·           Semua hewan yang masih hidup adalah suci kecuali anjing, babi atau keturunan salah satunya.

·           Semua badan yang mati tanpa proses penyembelihan yang sah hukumnya najis kecuali badan manusia, bangkai belalang dan bangkai ikan.

·           Semua hewan yang boleh dimakan jika mati melalui penyembelihan yang sah maka statusnya suci.

·           Semua hewan yang tidak boleh dimakan jika mati maka statusnya najis meskipun karena penyembelihan.

·           Bulu hewan yang boleh dimakan setelah dipisah dari badannya hukumnya suci.

·           Bulu hewan yang tidak boleh dimakan setelah dipisah dari badannya hukumnya najis.

·           Hukum bulu hewan sebelum dipisah dari badannya mengikuti hukum hewan tersebut.

 

- Jika ada bagian badan yang terpisah dalam kondisi masih hidup maka hukumnya mengikuti hukumnya dalam kondisi menjadi bangkai, jika hukum bangkainya suci maka bagian badan yang terpisah tersebut juga suci dan jika hukum bangkainya najis maka bagian badan yang terpisah tersebut juga najis.

-  Semua darah najis kecuali 10 hal:

-          Hati

-          Kesturi

-          Empedu

-          Darah pada bangkai ikan.

-          Darah pada bangkai belalang.

-          Hewan halal yang mati dihimpit.

-          Hewan halal yang mati dipanah.

-          Mani yang keluar dalam bentuk darah.

-          Susu yang keluar dalam bentuk darah.

-          Janin.

 

Susu dari hewan yang boleh dimakan hukumnya suci begitu pula susu manusia.

-   Susu dari hewan yang tidak boleh dimakan hukumnya najis.

-   Hukum madzi dan wadi adalah najis dan membatalkan wudhu.

-   Hukum mani terbagi menjadi tiga pendapat:

a.       Hukum mani dari semua hewan adalah suci kecuali mani anjing, babi dan keturunan salah satunya. Ini merupakan pendapat Imam Nawawi dan menjadi pendapat mu’tamad.

b.      Mani manusia hukumnya suci dan mani selainnya adalah najis. Ini pendapat Imam Rafi’i.

c.       Mani manusia dan mani semua hewan yang boleh dimakan adalah suci sedangkan mani hewan yang tidak boleh dimakan adalah najis.

 

-  Hukum telur adalah suci jika berasal dari hewan suci  meskipun tidak diperbolehkan memakannya.

a.   Dimaafkan pada pakaian dan air, yaitu najis yang tidak terlihat atau tercium.

b.  Dimaafkan pada pakaian saja, yaitu darah yang sedikit.

c.   Dimaafkan pada air saja, bangkai hewan yang tidak punya darah mengalir seperti semut dan lalat.

d.  Tidak dimaafkan secara total, yaitu najis-najis selain di atas.

 

Istihalah artinya perubahan sesuatu dari suatu sifat menjadi sifat lain. Sebagian najis menjadi suci melalui proses istihalah bukan melalui pencucian dengan air. Di antara najis yang berubah melalui istihalah:

1.      Khamr yang berubah menjadi cuka dengan sendirinya.

 

2.      Kulit hewan yang sudah mati menjadi suci dengan cara disamak.

Penyamakan kulit adalah proses menghilangkan kotoran-kotoran yang tersisa pada kulit dengan zat yang menyengat seperti buah akasia, potassium, sulfat dan lain-lain. Semua kulit hewan bisa suci dengan penyamakan kecuali anjing dan babi karena keduanya telah najis semenjak kondisi hidupnya. Ciri kulit yang yang sudah suci setelah penyamakan adalah ketika direndam dalam air maka bau tidak sedapnya tidak kembali lagi.

 

3.      Sesuatu yang berubah menjadi hewan utuh meskipun awalnya berasal dari kondisi kotor seperti kain sutera yang sebelum berasal dari ulat sutera.

 

Najis terbagi menjadi 3 jenis: mughallazhah, mukhaffafah dan mutawassithah.

1.      Najis mughallazhah adalah anjing dan babi serta keturunan dari salah satunya. Misalkan ada perkawinan antara kambing dan anjing maka keturunannya terhukumi najis. Berdasarkan kaidah dari Imam Suyuthi:

إن الفرع يتبع الأخس من أصليه في النجاسة

Sesungguhunya cabang/keturunan mengikuti yang lebih hina dari asal usulnya dalam hukum kenajisan.

Disebut najis mughallazhah karena Asy-Syāri’ (Penetap syariat, yaitu Allah dan Rasulnya) menyikapinya dengan tegas dalam hal hukum.

Cara menghilangkan najis mughallazhah dengan 7 basuhan air (salah satunya menggunakan tanah) setelah benda najisnya dihilangkan. Ada 3 teknis dalam membersihkan najis mughallazhah:

Ø  Mencampurkan air dan tanah hingga mengental kemudian meletakkannya di atas bagian yang terkena najis.

Ø  Meletakkan tanah di atas bagian yang terkena najis kemudian membilasnya dengan air.

Ø  Menuangkan air di atas bagian yang terkena najis kemudian meletakkan tanah padanya.

 

2.      Najis mukhaffafah adalah najis ringan karena Asy-Syāri’ menyikapinya dengan ringan dalam hal hukum. Ada 4 syarat najis mukhaffafah:

-          Berupa air kencing.

-          Kencingnya berasal dari bayi.

-          Bayinya belum mencapai usia 2 tahun.

-          Belum diberi asupan selain susu.

Jika hilang satu syarat dari 4 hal tersebut maka najisnya menjadi mutawassithah. Cara menghilangkan najis mutawassithah adalah dengan memercikkan atau menyiramkan air di atas bagian yang terkena najis dengan jumlah yang melebih najis dan menghilangkan zat dan sifatnya (warna, bau, rasa).

 

3.      Najis mutawassithah adalah semua najis selain mughallazhah dan mukhaffafah. Najis mutawassithah merupakan pertengahan antara mughallazhah dan mukhaffafah. Najis mutawassithah terbagi menjadi 2 jenis:

Ø Najis hukmi.

Najis hukmi adalah najis yang tidak diketahui warnanya atau baunya atau rasanya. Disebut najis hukmi karena bagian yang terkena najis ini dihukumi najis meskipun keberadaan najisnya tidak diketahui langsung melalui warna atau bau atas rasa.

Cara menghilangkan najis hukmi adalah dengan mengalirkan air di tempat yang dianggap terkena najis tersebut.

 

Ø Najis ‘aini.

Najis ‘aini adalah najis yang diketahui warnanya atau baunya atau rasanya. Disebut najis ‘aini karena zat bisa diketahui dari salah satu sifatnya.

Cara menghilangkan najis ‘aini adalah dengan membasuhnya dengan air hingga hilang sifatnya: warna, bau dan rasa. Jika najis hilang dengan satu basuhan maka sudah cukup meskipun disunnahkan menambah basuhan kedua dan ketiga. Bila suatu najis tidak hilang dengan 3 basuhan air yang disertai sabun atau zat pembersih lainnya maka ini disebut ta’assur (kondisi sulit).

Dalam kondisi ta’assur ada beberapa pertimbangan:

-          Jika yang tersisa hanya warna saja atau bau saja maka bagian tersebut dihukumi suci.

-          Jika yang tersisa warna dan bau atau rasa saja maka wajib menambah basuhan hingga hilang najis dan disarankan menggunakan zat pembersih seperti sabun.

Jika najis masih sulit dihilangkan kecuali dengan cara memotong bagian yang terkena najis maka ini disebut ta’adzzur (kondisi ‘udzur) Dalam kondisi ta’adzzur dimaafkan najisnya dan sah shalat menggunakannya dan wajib berusaha menghilangkannya di kemudian hari.

Adapula air ghusālah, yaitu air bekas dari proses menghilangkan najis. Hukumnya seperti air musta’mal, suci zatnya tapi tidak mensucikan buat yang lain. Hukum tersebut berlaku pada air ghusālah dengan beberapa syarat:

a.       Airnya dituangkan pada najis bukan sebaliknya najis dituangkan pada air.

b.      Air yang dituangkan terpisah lagi dari bagian yang dibersihkan.

c.       Air tersebut tidak berubah sifatnya.

d.      Air tersebut sedikit jumlahnya. Jika airnya banyak dan tidak berubah sifatnya maka hukumnya thahur (suci dan mensucikan).

e.       Berat air tidak bertambah.

f.        Tempat penampungan air setelah proses pembersihan najis harus dalam kondisi suci.