Perjalanan Hidup Imam Syafi'i

KELAHIRAN DAN PERTUMBUHAN DI MEKKAH


Oleh: Ahmad Faisal, Lc, M.E 

Mengenali kehidupan seseorang akan membantu kita memahami nilai karya yang dihasilkan orang tersebut. Karya ulama akan bisa kita resapi mendalam jika kita mengetahui sejarah perjalanan hidupnya.

Mari kita mengenal seorang ulama besar Islam yang karyanya mendunia, yaitu Imam Syafi’i. Dengan menapaki perjalanan hidupnya akan membuat kita lebih memahami dan bijaksana dalam mempelajari madzhab fiqihnya yang diikuti ratusan juta manusia.

§  Kondisi Zaman

Imam Syafi’I lahir pada tahun 150 H di Gaza, Palestina dan wafat pada tahun 204 H di Mesir. Imam Syafi’i hidup di masa-masa awal kepemimpinan Khilafah Abbasiyyah. Pepatah mengatakan bahwa ‘Seseorang adalah anak lingkungannya’, begitu pula Imam Syafi’i terbentuk dengan pengaruh-pengaruh kondisi dan peristiwa yang ada di zamannya.

Imam Syafi’i hidup di bawah kepemimpinan 6 khalifah: Al-Manshur, Muhammad Al-Mahdi, Musa Al-Hadi, Harun Ar-Rasyid, Muhammad Al-Amin dan Abdullah Al-Ma`mun. Para khalifah ini unggul dengan kemampuannya menjaga stabilitas pemerintah di dalam dan luar negeri.

Di dalam negeri mereka menindak tegas para pembangkang negara dari kaum Alawiyyah. Mereka juga tegas menindak kaum Zindiq yang berusaha membangun gerakan separatis di Khurasan. Dengan kepemimpinan yang kokoh dan tegas, para khalifah tersebut mampu menjadikan Abbasiyyah dan Baghdad sebagai pusat kepemimpinan dunia Islam dari sisi legalitas dan legitimasi.

Di luar negeri, Khilafah Abbasiyyah berwibawa dan disegani musuhnya. Wilayah perbatasan dijaga dengan siaga oleh para pasukan. Saat itu ada operasi militer yang dilakukan setiap musim panas dalam rangka menundukkan wilayah Romawi dan kadangkala khalifah terlibat langsung dalam operasi tersebut. Kekuatan Abbasiyyah kala itu menjadikannya stabil, memperoleh banyak harta rampasan perang, menerima banyak jizyah dan terwujudnya keamanan perdagangan.

Kestabilan politik pemerintahan tentunya mempengaruhi kejayaan ilmu pengetahuan. Para khalifah di awal masa kepemimpinan Abbasiyyah sangat menaruh perhatian pada ilmu pengetahuan. Diantara bentuk perhatian tersebut ialah:

-    Memberikan banyak harta dan pemberian kepada para ahli dari berbagai bidang ilmu. Hal ini juga diikuti para gubernur wilayah dan para menteri. Pelopor kebiasaan ini adalah Khalifah Muhammad Al-Mahdi, lalu diikuti Harun Ar-Rasyid dan Ma’mun.

-   Membangun perpustakaan umum dan yang paling menonjol adalah perpustakaan Darul Hikmah di ibukota Baghdad. Perpustakaan ini dibangun di masa Harun Ar-Rasyid dan menjadi pusat keilmuan para akademisi.

-   Para penguasa membuka majlis & forum dialog yang diisi para ahli ilmu dari berbagai bidang. Di dalamnya mereka berdiskusi dan berdebat secara ilmiah.

-        Pendirian pabrik kertas yang mendukung penulisan buku-buku berbagai ilmu pengetahuan.

-        Gerakan penerjemahan buku-buku pengetahuan dari Romawi, Yunani, Persia dan bangsa lainnya ke dalam bahasa Arab. 

Kejayaan Islam dalam kepemimpinan Khilafah Abbasiyyah meluas hingga perbatasan Cina dan Afrika Utara. Di masa itu terkumpul berbagai budaya, wawasan dan bahasa dari Arab, India, Turki, Romawi, Persia dan Afrika. Keberagaman tersebut terangkai indah di bawah peradaban Islam.

Kestabilan politik, kebijaksanaan penguasa, budaya keilmuan yang subur dan kemapanan ekonomi sangat mempengaruhi pesatnya ilmu fiqih khususnya pada kehidupan Imam Syafi’i.

§  Latar Belakang Keluarga

Nama beliau adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin Sa`ib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Mutthalib bin Abdu Manaf Al-Mutthalibi Al-Qurasyi, nama kun-yahnya Abu Abdullah. Imam Syafi’i bertemu nasabnya dengan Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di Abdu Manaf bin Qushai. Kakek dari kakeknya Imam Syafi’i yaitu Syafi’ bin Sa`ib merupakan generasi sahabat sebagaimana diriwayatkan mayoritas ulama sejarah.

Ibunya berasal dari Azdiyah (daerah di Yaman). Perannya sangat besar dalam mengantarkan Imam Syafi’i hingga menjadi ulama syariah yang hebat. Ayahnya wafat tidak lama setelah kelahirannya. Secara ekonomi pun bisa dikatakan keluarganya miskin.

Dalam kondisi yang serba sulit dan orangtuanya bukan ulama, ibu Imam Syafi’i tidak mengarahkannya menjadi pedagang ataupun pekerja di bidang tertentu namun diarahkan untuk mencintai ilmu (syariah khususnya) dan semangat menghadiri majlis para ulama.

§  Kehidupan di Mekkah

Imam Syafi’i dibawa oleh ibunya ke Mekkah agar ia tumbuh dalam lingkungan yang memiliki suasana keilmuan yang kuat. Di Mekkah beliau belajar membaca, menulis lalu menghafal Al-Quran. Beliau menyelesaikan hafalan Al-Quran 30 juz sebelum usia 10 tahun. Kemudian beliau menghafal syair-syair Arab lalu kitab Muwattha. Imam Syafi’i dianugerahi kecerdasan otak yang istimewa. Mengenai kecerdasannya, Baihaqi meriwayatkan dalam Manaqibus Syafi’i,’Imam Syafi’i suatu ketika mendengar seorang guru menuntun anak kecil untuk membaca ayat Al-Quran lalu Imam Syafi’i pun menghafalnya secara alamiah. Beliau pun mendengar suara dikte yang ditulis anak-anak kecil hingga guru yang mendikte selesai dan beliau pun sudah hafal semua yang didiktekan.’

Syafi’i memilki sanad Al-Quran yang tersambung kepada Rasulullah melalui gurunya Isma’il bin Abdullah bin Qasthanthin.

Di usia yang masih dini, Syafi’i  menjelajahi banyak suku Arab di sekitar Mekkah khususnya suku Hudzail. Tujuan penjelajahan ini untuk mendapatkan kualitas bahasa yang paling fasih dari suku-suku Arab di pedalaman yang masih murni dari pengaruh interaksi bahasa-bahasa lain. Syafi’i mempelajari bahasa dari mereka lewat percakapan, mendengar syair-syair, menghafal nasab dan sejarah Arab. Interaksi beliau dengan suku-suku Arab membentuk kemampuan bahasa Arab yang sangat bagus dan fasih. Kemampuan tersebut sangat membantu dalam membangun ilmu fiqihnya.

Masjidil Haram merupakan tempat subur dengan banyak halaqah dan majlis ilmu yang diampu oleh ulama-ulama senior di Mekkah. Di situlah Imam Syafi’i mempelajari ilmu syariah dan berhasil menghafal Muwattha sebelum bertemu penulisnya. Diantara guru Syafi’i yang masyhur:

-     Sufyan bin Uyainah (ahli hadits), dari beliau lah Syafi’i membentuk dasar keilmuan haditsnya. Dalam kitab Ar-Risalah, Syafi’i meriwayatkan 43 hadits melalui jalur Sufyan bin Uyainah.

-      Muslim bin Khalid Az-Zanji (ahli fiqih dan mufti Mekkah), karena beliau lah Syafi’i termotivasi & tergerak untuk menekuni ilmu fiqih. Beliau pula yang mengizinkan Syafi’i untuk berfatwa di usia 15 tahun. Sanad fiqih Syafi’i tersambung kepada Rasulullah Muhammad melalui: Muslim bin Khalid Az-Zanji > Ibnu Juraij > Atha bin Abi Rabah, Mujahid, Ikrimah > Abdullah bin Abbas.

Masih banyak guru-guru lain yang menjadi sumber ilmu yang ditimbanya. Baihaqi meriwayatkan ada 19 guru Syafi’i selama di Mekkah. Setelah meneguk banyak ilmu di Mekkah, Syafi’i melanjutkan perjalanan ilmunya di Madinah.

Referensi:

د. أكرم يوسف عمر القواسمي, المدخل إلى مذهب الإمام الشافعي, أردن: دار النفائس, 1423 

MENIMBA ILMU DARI SANG IMAM MADINAH

Oleh: Ahmad Faisal, Lc, M.E


§  Madinah Pusat Ilmu Islam

Syafi’i melakukan perjalanan ke kota Madinah Munawwarah untuk menemui Imam Malik dan menimba ilmu darinya. Imam Malik merupakan guru yang sangat berpengaruh bagi Syafi’i dilihat dari panjangnya waktu yang dihabiskan bersamanya khususnya di akhir masa hidup Imam Malik.

Madinah telah menjadi pusat keilmuan semenjak tibanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di sana. Terlebih lagi Madinah adalah pusat pemerintahan Islam semenjak kepemimpinan Nabi Muhammad hingga Khalifah Utsman. Di Madinah berkumpul mayoritas ulama dari kalangan sahabat yang mewariskan sanad hadits tertinggi dan hasil-hasil ijtihad fiqih yang penting. Dari Madinah tersebarlah ilmu-ilmu syariah ke berbagai penjuru dunia.

Imam Malik memiliki sanad keilmuan dari gurunya Rabi’ah bin Abu Abdurrahman Ar-Ra`yi yang mengambil ilmu diantara 7 ahli fiqih Madinah: Sa’id bin Musayyab, Urwah bin Zubair, Abu Bakr bin Abdurrahman, Ubaidullah bin Abdullah, Kharijah bin Zaid, Al-Qasim bin Muhammad dan Sulaiman bin Yasar yang tersambung kepada Abdullah bin Umar. Syafi’i mendapat sanad ulama sahabat di Madinah melalui Imam Malik.

Masjid Nabawi menjadi seperti Universitas Islam yang besar dengan keunggulan pembelajaran fiqihnya yang didominasi hadits-hadits Nabi dan riwayat-riwayat para sahabat sehingga saat itu belum membutuhkan qiyas dan jenis-jenis ijtihad lainnya. Dari Madinah lah muncul cikal bakal Madrasah Fiqih Ahlul Hadits atau yang disebut juga Madrasah Hijaz.

§  Pertemuan dengan Imam Malik

Malik bin Anas merupakan Imam Negeri Hijrah yang lahir di Madinah pada tahun 93 H dan wafat di Madinah pula pada tahun 179 H, beliau tidak meninggalkan Madinah kecuali saat melaksanakan haji. Beliau hafal Al-Quran sejak kecil, menimba ilmu dari para tabi’in, menggabungkan penguasaan fiqih dan hadits serta mengemban tugas mengajar dan berfatwa di Masjid Nabawi. Imam Malik sangat teguh dalam beragama dan menjaga wibawa di hadapan para penguasa.

Syafi’i telah mendapatkan kitab Muwattha sejak berada di Mekkah. Ketika tiba di Madinah, Syafi’i menemui Gubernur Madinah dan menyampaikan maksudnya untuk bertemu dengan Imam Malik. Namun Sang Gubernur merasa berat untuk mengantarnya karena hebatnya wibawa Imam Malik, ia mengatakan,’Wahai anakku, saya berjalan dari ujung Madinah hingga ujung Mekkah maka itu lebih ringan bagiku daripada berjalan ke rumah Malik. Sungguh aku tidak merasakan kerendahan hingga aku berdiri di depan rumahnya’.

Syafi’i pun berinisiatif untuk mendatangi rumah Imam Malik. Sesampai di depan rumahnya, pintu pun diketuk lalu keluar anak perempuan berkulit hitam dan menyampaikan pesan,’Jika maksud kedatangan untuk menanyakan suatu hal maka tulislah dan akan dijawab, jika maksudnya adalah mendapatkan hadits maka datanglah di jadwal yang sudah ditetapkan’. Lalu Syafi’i menjawab,’Katakan padanya bahwa aku membawa surat penting dari Gubernur Mekkah’. Anak perempuan itu pun masuk dan menyampaikan pesan. Beberapa saat kemudian keluarlah Imam Malik sosok berbadan tinggi dan berwibawa lalu membaca pesan Gubernur Mekkah dan meresponnya dengan kesal karena menganggap kurang baiknya cara komunikasi dalam surat. Syafi’i pun langsung mengatakan,’Semoga Allah memperbaikimu, sungguh saya seorang dari Bani Mutthalib’ dan menceritakan kisahnya. Syafi’i pun menyatakan,’Sungguh aku sudah menghafal Muwattha dengan lancar’. Imam Malik pun menerima Syafi’i menjadi muridnya dan senang dengan bacaan Syafi’i yang bagus. Syafi’i mengkhatamkan Muwattha di hadapan sang penulis hanya dalam beberapa hari yang singkat.

Demikianlah kisah awal perjumpaan Malik dan Syafi’i. Syafi’i mengikuti dan berguru padanya dalam waktu yang lama. Syafi’i mengambil banyak ilmu darinya berupa hadits, fiqih dan dasar-dasar pemahaman Madrasah Ahlul Hadits. Pengaruh Imam Malik sangat besar pada pembentukan kemampuan Syafi’i hingga ia mengatakan,’Malik bin Anas adalah guruku dan darinya aku memperoleh ilmu’.

Selama berguru pada Imam Malik, beliau mengikuti pendapat fiqih Imam Malik dikarenakan levelnya sebagai murid dan pemula. Akan tetapi setelah berjalan waktu lama dan kemampuan fiqih Syafi’i sudah matang maka beliau banyak mengeluarkan pendapat yang berbeda dari Imam Malik khususnya ketika berada di Mesir.

Imam Syafi’i tidak hanya mengambil ilmu dari Imam Malik ketika di Madinah, namun beliau juga belajar dari ulama-ulama lain yang ada di sana. Baihaqi menyebutkan bahwa Imam Syafi’i memilki 13 guru dari Madinah.

Referensi:

د. أكرم يوسف عمر القواسمي, المدخل إلى مذهب الإمام الشافعي, أردن: دار النفائس, 1423 

MERANTAU KE NEGERI YAMAN

Oleh: Ahmad Faisal, Lc, M.E


§  Berangkat Bersama Gubernur Yaman

Imam Syafi’i menjalani masa kecilnya dalam keadaan yatim dan miskin. Ibunya mengarahkannya untuk menekuni ilmu pengetahuan sehingga Imam Syafi’i belum memiliki penghasilan yang mapan selama bertahun-tahun. Setelah wafat gurunya Imam Malik dan Muslim bin Khalid Az-Zanji di tahun yang sama, Syafi’i pun tertarik untuk menekuni profesi untuk mendapatkan penghasilan.

Suatu ketika, datanglah Gubernur Yaman ke Mekkah. Lalu Imam Syafi’i pun berusaha berkomunikasi dengannya hingga akhirnya bisa berangkat ke Yaman bersama Sang Gubernur.

§  Menekuni Profesi

Sesampai di Yaman, Syafi’i mendapatkan pekerjaan sebagai sekretaris yang mengurusi administrasi. Beliau menekuni dan menguasai pekerjaan tersebut. Tersebab kinerjanya yang baik, beliau dipercaya untuk mengatur pemerintahan di wilayah Najran.

Imam Syafi’i menjalani profesinya dengan profesional, tekun, konsisten dan adil, menjauhi kepentingan-kepentingan dari orang-orang tidak baik. Karena sikap tegasnya ini, maka orang-orang yang ingin berbuat curang dan manipulatif menjadi tidak suka padanya dan membuat tuduhan buruk tentang Imam Syafi’i di hadapan Khalifah Harun Ar-Rasyid. Tuduhan tersebut ialah pemberontakan yang direncanakan sebagian orang-orang Alawiyyah bersama Imam Syafi’i.

Pengalaman Imam Syafi’i di Najran membantunya memahami persoalan-persoalan yang berhubungan dengan fiqih seperti hukum perlakuan Ahlul Kitab, penetapan jizyah, muamalah ekonomi dan pengadilan. Di masa tersebut, Imam Syafi’i membangun pemahaman terhadap fakta kehidupan masyarakat dengan lebih nyata, luas dan detail sehingga ijtihad fiqihnya semakin akurat.

§  Guru di Yaman

Meskipun di Yaman Imam Syafi’i sibuk dengan pekerjaan yang ditekuninya, namun beliau tetap mencari guru untuk menimba ilmu. Salah satu gurunya di Yaman ialah Hisyam bin Yusuf, seorang hakim dan ahli fiqih di kota Shan’a.

Referensi:

د. أكرم يوسف عمر القواسمي, المدخل إلى مذهب الإمام الشافعي, أردن: دار النفائس, 1423 

PERTEMUAN DENGAN ULAMA HANAFI DI BAGHDAD

Oleh: Ahmad Faisal, Lc, M.E


§  Menuju Baghdad Menghadap Khalifah

Pada tahun 184 hijriah, Imam Syafi’i dipanggil ke pusat pemerintahan Islam di Baghdad akibat tuduhan rencana pemberontakan yang dilontarkan oleh para pembencinya di Yaman. Sesampai di Baghdad, Imam Syafi’i pun menghadap Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk diperiksa.

Kabar pertemuan Imam Syafi’i dan Sang Khalifah pun diketahui oleh Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. Beliau mengetahui reputasi Syafi’i yang baik dan pernah menjumpainya di Hijaz. Beliau pun menghadap Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk membela Syafi’i dari tuduhan yang tidak layak.

Harun Ar-Rasyid mengatakan,’Wahai Muhammad, apakah perkataannya (Syafi’i) bisa dipercaya?’. Muhammad bin Hasan menjawab,’Tentu saja, ia memiliki ilmu yang banyak dan tuduhan pemberontakan tidak ada hubungan dengannya’. Harun Ar-Rasyid pun akhirnya membebaskan Syafi’i karena pengaruh dari Muhammad bin Hasan. Muhammad bin Hasan adalah murid Abu Hanifah dan seorang ulama madzhab Hanafi yang sangat dihormati di Baghdad khususnya di hadapan para khalifah.

Setelah bebas dari tuduhan, Syafi’i pun tidak langsung meninggalkan Baghdad, namun beliau berminat pada majelis-majelis ilmu yang ada di ibukota Khilafah pusat peradaban & pengetahuan Islam di masa itu. Di sana banyak terdapat perpustakaan, ulama dan sastrawan. Daya tarik Baghdad membuat Syafi’i semangat untuk mempelari fiqih Madrasah Ahlur Ra`yi atau yang dikenal dengan sebutan Madrasah Irak.

Takdir yang awalnya membawa paksa Imam Syafi’i menuju Baghdad akibat tuduhan buruk, tetapi hikmah Allah mengantarkannya untuk belajar di pusat ilmu pengetahuan kaum muslimin yang membuatnya semakin kaya dalam penguasaan ilmu syariah.

§  Belajar Pada Sang Guru Hanafi

Muhammad bin Hasan bin Farqad Asy-Syaibani berasal usul dari Syam. Orang tuanya bermigrasi lalu melahirkannya di Wasith pada tahun 132 hijriah lalu tumbuh besar di Kufah, Irak.

Beliau belajar hadits dari Sufyan Ats-Tsauri dan memahami fiqih dari Imam Abu Hanifah lalu Abu Yusuf. Beliau juga pernah belajar pada Imam Malik di Madinah dan berguru pada Imam Auza’i di Syam.

Muhammad bin Hasan sangat fasih dalam berbahasa Arab, menguasai nahwu, imam dalam fiqih & ushul fiqih dan menjadi pengajar di Masjid Kufah di usia 20 tahun. Kemudian beliau pindah ke Baghdad dan dipercaya menjadi hakim kota Riqqah oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid. Setelah wafatnya Abu Yusuf, posisi hakim tertinggi diserahkan pada Muhammad bin Hasan.

Muhammad bin Hasan adalah penyusun sistematika madzhab fiqih Hanafi dan penyebarnya. Tulisan-tulisannya menjadi rujukan dalam madzhab Hanafi seperti Zhahirur Riwayah, Al-Jami’ Ash-Shaghir, Al-Jami’ Al-Kabir, Siyar Shaghir, Siyar Kabir dan Az-Ziyadat.

Kepemimpinan madzhab Hanafi berada pada Muhammad bin Hasan setelah 2 pendahulunya. Selain itu beliau juga menjadi panutan Madrasah Ahlur Ra’yi dan banyak ulama yang berguru padanya. Beliau berhasil menyusun dasar keilmuan madzhab Hanafi setelah berguru pada Abu Hanifah dan Abu Yusuf, lalu mengambil ilmu dari Malik, menjadi guru Syafi’i sekaligus teman diskusi dan tulisannya memberi pencerahan pada Ahmad bin Hanbal. Beliau adalah poros yang mendekatkan antara madzhab-madzhab fiqih.

Syafi’i membersamai Muhammad bin Hasan dalam waktu yang lama. Darinya Syafi’i mempelajari fiqih Imam Abu Hanifah dan ushul fiqihnya. Sosok Muhammad bin Hasan sangat berpengaruh bagi Syafi’i setelah Imam Malik.

Muhammad bin Hasan wafat pada tahun 189 hijriah saat melakukan perjalanan bersama Harun Ar-Rasyid ke Khurasan.

§  Guru-Guru Syafi’i di Irak

Selama di Irak, Syafi’i tidak hanya berguru pada Muhammad bin Hasan, namun ia juga meluaskan pengetahuan dari ulama-ulama lain yang ada. Di antara ulama-ulama itu adalah:

          Saya mengadu pada Waqi’ tentang buruknya hafalanku

          Maka ia mengarahkanku agar meninggalkan maksiatku

          Dia mengabarkanku bahwa ilmu adalah cahaya

          Dan cahaya Allah tak diberi kepada pendosa

Allah subhanahu wa ta’ala memilih di antara para hambaNya sebagai pewaris dan penerus ajaran Nabi. Orang-orang pilihan tersebut dimudahkan jalannya untuk mencari ilmu dan dinaungi oleh rahmat dan pemeliharaanNya. Para pendengki yang berencana buruk pada Imam Syafi’i hendak menjerumuskannya di hadapan penguasa, tetapi rencana Allah mengarahkannya pada majelis-majelis ilmu di masjid-masjid Baghdad dan bertemu para ulama hebat. Maka semakin matanglah kemampuan ijtihad fiqih Imam Syafi’i selepas dari Baghdad.

Referensi:

د. أكرم يوسف عمر القواسمي, المدخل إلى مذهب الإمام الشافعي, أردن: دار النفائس, 1423 

KEMBALI KE MEKKAH DAN KEMUNCULAN BIBIT MADZHAB

Oleh: Ahmad Faisal, Lc, M.E


§  Pengajar di Masjidil Haram

Pada tahun 189 hijriah, Imam Syafi’i meninggalkan Baghdad setelah wafatnya Sang Guru Muhammad bin Hasan. Kali ini Imam Syafi’i menuju Mekkah tempat tumbuh kembangnya.

Sekembalinya ke Mekkah, Imam Syafi’i dipercaya untuk mengajar di teras zamzam yang berada di sekitar Ka’bah, Masjidil Haram. Di sana beliau mengajarkan fiqih dan memberi fatwa kepada orang-orang.

Dalam posisi tersebut, tampaklah ciri khas fiqih beliau dibandingkan fiqih guru-gurunya, sebab beliau membuat fatwa dan membahas persoalan dengan kaidah dan metode yang berbeda dengan guru-gurunya meskipun beberapa kali hasil hukumnya sama. Perbedaan kontras Imam Syafi’i dengan Imam Malik dan murid-murid Abu Hanifah terletak pada ushul fiqih dan cara berdalil.

Ciri khas yang tampak pada cara ijtihad Imam Syafi’i tersebut menjadikannya termasuk mujtahid mutlak. Para ulama ushul fiqih mendefinisikan mujtahid mutlak ialah seseorang yang mampu berijtihad dengan mandiri dari segi ushul (kaidah dasar), furu’ (cabang permasalahan) dan metode berdalil, meskipun mungkin kaidahnya atau furu’nya ada yang sesuai dengan kaidah atau furu’ mujtahid lain maka itu adalah suatu kesesuaian hasil ijtihadnya dengan hasil ijtihad lain, bukan karena taqlid.

Kemampuan ijtihad fiqih Imam Syafi’i muncul dan berkembang bertahap seiring proses belajarnya dari Muslim bin Khalid Az-Zanji, Imam Malik lalu Muhammad bin Hasan. Level mujtahid mutlak tidak diraih sehari semalam.

§  Murid-Murid di Mekkah

Daya tarik Imam Syafi’i yang muncul dari kematangan ilmu melalui proses yang lama dan pengembaraan yang panjang tentunya menyedot perhatian para pencari ilmu. Di antara sekian banyak murid-muridnya di Mekkah, yang sangat menonjol adalah Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahawaih.

Ahmad bin Hanbal di kemudian hari merupakan salah satu dari empat imam madzhab fiqih terbesar di dunia. Semangatnya yang luar biasa mengantarkannya menjelajahi berbagai negeri Islam hingga berhasil mengumpulkan 30.000 hadits di bukunya yang bernama Al-Musnad. Beliau merupakan pemimpin para ahli hadits. Banyak ulama hadits yang belajar darinya seperti Muhammad bin Ismail (Bukhari) dan Muslim bin Hajjaj.

Awalnya Ahmad bin Hanbal berada di Mekkah dan belajar pada Sufyan bin ‘Uyainah. Lalu terdengarlah akan keunggulan dan daya tarik majlis Imam Syafi’i kemudian Ahmad pun menghadiri majlisnya. Keunggulan Syafi’i dikarenakan penguasaannya pada fiqih Madrasah Hijaz dan fiqih Madrasah Irak. Ahmad bin Hanbal membersamai Imam Syafi’i dalam waktu yang lama dan sangat memuliakannya bahkan setelah wafatnya. Abdullah (anak Ahmad) bertanya,’Wahai ayah, kenapa kau banyak menyebut Syafi’i dalam doa?’, Ahmad menjawab,’Wahai ananda, Syafi’i – semoga Allah merahmatinya – seperti matahari bagi dunia dan seperti kesehatan bagi manusia, maka perhatikanlah apakah ada yang bisa menggantikan keduanya?’.

Ishaq bin Ibrahim yang lebih dikenal dengan Ibnu Rahawaih merupakan ulama Khurasan yang telah menjelajahi berbagai wilayah untuk mengumpulkan hadits-hadits. Beliau merupakan gurunya Bukhari dan Muslim. Beliau menguasai fiqih dan hadits meskipun kesibukannya pada ilmu hadits lebih banyak.

Ishaq mengetahui majlis Imam Syafi’i melalui informasi dari Ahmad bin Hanbal. Ishaq cukup terpengaruh dengan kemampuan fiqih Syafi’i yang lebih akurat dan lebih minim kesalahannya. Sayangnya Ishaq belum maksimal dalam mengambil manfaat ilmu dari Imam Syafi’i karena sebentarnya kebersamaan hingga beliau menyesal di kemudian hari.

Di fase ini, Imam Syafi’i menetap cukup lama di Mekkah untuk menyalurkan keilmuan dan menerapkan kaidah-kaidah khas yang didapat dari proses belajar yang hebat. Posisinya sebagai pengajar di Masjidil Haram menjadi sebab terkenalnya beliau dan keilmuannya di berbagai negeri, khususnya melalui musim haji yang menjadi sarana berkumpul besar-besaran kaum muslimin sedunia yang dihadiri khalifah, para gubernur, pejabat, ulama, pedagang dan lain-lain.

Referensi:

د. أكرم يوسف عمر القواسمي, المدخل إلى مذهب الإمام الشافعي, أردن: دار النفائس, 1423

RIHLAH KEDUA MENUJU BAGHDAD

Oleh: Ahmad Faisal, Lc, M.E


§  Imam Syafi’i Menunjukkan Madzhabnya

Madzhab (مذهب) berasal dari kata dzahaba (ذهب) yang berarti pergi. Makna madzhab secara bahasa ialah tempat pergi, jalan dan sarana penghubung. Secara istilah syariah madzhab bermakna hukum-hukum yang menyampaikan pada kebahagiaan dunia-akhirat. Secara khusus dalam ilmu fiqih, madzhab bisa dimaknai yaitu kumpulan hukum-hukum syariah amaliyah yang dipilih imam madzhab dari hasil ijtihadnya.

Setelah menghabiskan waktu di Mekkah selama 6 tahun dengan mengajarkan fiqih, pada tahun 195 hijriah Imam Syafi’i berangkat kembali ibukota Khilafah, Baghdad. Di fase ini, Imam Syafi’i mulai menuliskan madzhabnya dari kaidah-kaidah dasar hingga cabang-cabang permasalahan fiqih dan menunjukkannya di hadapan para ulama. Di Baghdad beliau menulis sendiri secara langsung madzhabnya hingga menghasilkan buku Ar-Risalah (ushul fiqih) dan Al-Hujjah (fiqih).

Baghdad sebagai kota pusat peradaban Islam dan dunia kala itu, merupakan tempat strategis untuk menyebarkan madzhab fiqih. Di sana berkumpul para ulama, penguasa, gubernur dan sastrawan hingga menjadi pasar ilmu yang ramai, diskusi ilmiah di masjid yang sangat aktif dan perpustakaannya mencakup banyak buku dari berbagai jenis ilmu. Baghdad menjadi tujuan orang dari berbagai wilayah untuk mencari ilmu dan melakukan perdagangan. Saking hebatnya Baghdad, Syafi’i mengungkapkan bahwa orang yang belum pernah melihat Baghdad seakan belum pernah melihat dunia sesungguhnya.

Pada kehadirannya di Baghdad yang kedua, Imam Syafi’i memilih Masjid Jami’ Al-Kabir yang dibangun Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur. Di dalamnya banyak sekali forum dan majelis ilmu. Imam Syafi’i membuka majelis fiqih, menjelaskan madzhabnya, menjawab pertanyaan dan memberi fatwa dengan menggunakan kaidah berdalilnya. Ada kalanya pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada beliau mendalam dan tajam sehingga kadang menjadi sebuah perdebatan yang justru menampakkan kekokohan pondasi ilmu Imam Syafi’i.

Imam Syafi’i menghadapi diskusi fiqih ahli hadits dan ahli ra`yi. Imam Syafi’i mampu menjelaskan di hadapan ulama ahli ra`yi pendalilan dari Al-Quran, As-Sunnah, riwayat sahabat Nabi dan keputusan hukumnya dengan metode yang bersinergi dengan qiyas. Di hadapan ulama ahli hadits, Imam Syafi’i mampu menjelaskan hadits dengan penafsiran dan metode ijtihad untuk menempatkan dalil yang tepat pada permasalahan yang tepat. Imam Syafi’i membawa kemampuan yang khas dengan penguasaannya ilmu dari Madrasah Hijaz (ahli hadits) dan Madrasah Irak (ahli ra`yi).

§  Murid-Murid di Irak

Aktivitas Imam Syafi’i di Baghdad pada fase ini menghasilkan kumpulan ijtihad fiqihnya yang dikenal dengan sebutan madzhab qadim. Di antara sekian banyak muridnya, ada 3 muridnya yang menonjol di Irak yaitu Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Abu Ali Al-Karabisi dan Hasan Az-Za’farani. Mereka lah yang banyak meriwayatkan madzhab qadim khususnya Hasan Az-Za’farani.

§  Sang Penolong As-Sunnah

Di antara karya terbaik sepanjang masa yang ditulis oleh Imam Syafi’i adalah Ar-Risalah. Ar-Risalah memilki dua versi yaitu versi yang ditulis di Baghdad dengan sebutan Ar-Risalah Al-Qadimah dan versi yang ditulis di Mesir dengan sebutan Ar-Risalah Al-Jadidah.

Kisah yang menjadi sebab ditulisnya Ar-Risalah berawal dari Abdurrahman bin Mahdi saat berada di Basrah yang sedang berbekam lalu setelahnya langsung melaksanakan shalat di masjid tanpa berwudhu lagi (karena menurutnya wudhu belum batal). Orang-orang di Basrah memiliki pemahaman lain bahwa berbekam membatalkan wudhu sedangkan Abdurrahman bin Mahdi mengambil madzhab Malik bahwa berbekam tidak membatalkan wudhu. Orang-orang Basrah yang melihat pun mengingkari perbuatannya. Abdurrahman bin Mahdi ingin menyampaikan argumentasi kepada mereka mengenai madzhab yang dipilihnya dan tentunya butuh kaidah-kaidah umum dalam memahami dalil dan menyimpulkan hukumnya sehingga menemukan titik persamaan. Abdurrahman bin Mahdi mengetahui akan kemampuan Syafi’i dalam hadits, berdalil dan berargumentasi, sehingga ia pun menulis surat kepada Syafi’i agar menuliskan sebuah risalah (surat) yang berisi cara memahami makna Al-Quran, menyeleksi hadits yang bisa diterima, keabsahan ijma’ dan menjelaskan nasikh & mansukh dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Maka disebutlah sebagai Ar-Risalah yang berarti surat, karena asalnya ia adalah surat jawaban dari Syafi’i kepada Abdurrahman bin Mahdi.

Melalui karya Ar-Risalah dan usaha lainnya, Imam Syafi’i dijuluki Sang Penolong As-Sunnah. Dengan usahanya, beliau mampu mengokohkan kembali posisi As-Sunnah atau hadits sebagai dalil yang utama, sebab saat itu ahli fiqih di Irak lebih banyak menggunakan qiyas, istihsan dan jenis ijtihad lainnya. Penguasaan Imam Syafi’i terhadap metode Madrasah Ahli Hadits dan Madrasah Ahli Ra`yi membuatnya mampu menjelaskan kehujjahan hadits dengan kaidah-kaidah yang kuat di hadapan ulama ahli ra`yi.

§  Pulang-Pergi Antara Mekkah dan Baghdad

Pada rentang tahun 197-199 hijriah, Imam Syafi’i bolak-balik bepergian antara Irak dan Hijaz, kemudian memutuskan ke Mesir. Di antara manfaat dari perjalanan tersebut adalah agar menemukan murid-murid kompeten yang mampu mewarisi ilmunya yang banyak berupa fiqih, ushul fiqih dan ilmu-ilmu syariah lainnya.

Imam Syafi’i menyadari pentingnya memiliki murid-murid kompeten agar fiqihnya terus diajarkan, bertahan dan berkembang ke generasi-generasi selanjutnya. Imam Syafi’i mendapati seorang ahli fiqih bernama Laits bin Sa’d yang ternyata kemampuannya melebihi Imam Malik akan tetapi madzhabnya tidak bertahan karena murid-muridnya tidak menyebarkannya.

Kondisi Baghdad semakin tidak stabil karena Makmun memberi ruang bagi pemikiran Mu’tazilah dan memaksakannya pada rakyatnya. Selain itu terjadi peperangan antara Makmun dengan saudaranya Khalifah Al-Amin hingga akhirnya ia berhasil merebut kekuasaan. Kondisi tersebut membuatnya pergi menuju Mesir yang lebih tenang dan stabil. Di Mesir, Syafi’i mendapatkan murid-murid yang setia dan mampu menyebarkan madzhabnya dengan baik.

Dari perjalanan Imam Syafi’i, kita mampu memetik hikmah bahwa seorang ahli fiqih butuh lingkungan masyarakat yang stabil & tenang serta memiliki murid-murid yang ikhlas & setia sehingga keilmuan dan karyanya bisa bertahan dan berkembang meskipun ia telah wafat.

Referensi:

د. أكرم يوسف عمر القواسمي, المدخل إلى مذهب الإمام الشافعي, أردن: دار النفائس, 1423

MENDARAT DI NEGERI PIRAMID HINGGA AKHIR HAYAT

Oleh: Ahmad Faisal


§  Perkembangan Fiqih Syafi’i di Mesir

Sebelum kedatangan Imam Syafi’i di Mesir, telah berkembang dua madzhab fiqih di dalamnya yaitu madzhab Malik dan madzhab Abu Hanifah. Masing-masing madzhab memiliki kelompok yang cukup kuat dalam mengajarkan fiqihnya. Sesampai di Mesir, Imam Syafi’i memulai aktivitas keilmuannya, mengajarkan fiqih dan ushulnya serta cabang-cabang ilmu syariah lainnya dan menulis buku.

Kehidupan Syafi’i di Mesir terbilang singkat, namun menghasilkan karya ilmiah yang besar. Di Mesir, beliau bisa menyampaikan ilmu fiqih dan ushul fiqihnya kepada murid-muridnya yang banyak dan kelak merekalah para ulama rujukan madzhab Syafi’i di masanya. Beliau juga memperbaharui kitab ushul fiqihnya serta menulis madzhab jadid di buku bernama Al-Umm. Dalam kitab Al-Umm, terkumpul hasil ijtihad Syafi’i yang baru dan merevisi beberapa pendapatnya di madzhab qadim. Mayoritas pendapat Syafi’i dalam madzhab jadid merupakan pendapat mu’tamad (patokan/utama) dalam madzhab Syafi’i.

Di Mesir, Imam Syafi’i mampu menulis, mengajar dan mendiktekan dalam satu majelis. Hal ini menunjukkan kematangan dan kekokohan pondasi ilmu fiqihnya. Tidak hanya itu, dalam majelis tersebut Imam Syafi’i membentuk murid-muridnya menjadi pencatat sekaligus penghafal madzhab serta melatih mereka untuk berijtihad. Majelis tersebut seperti seminar atau kuliah modern.

Produktivitas Imam Syafi’i di Mesir sangat luar biasa. Beliau berhasil memapankan ushul fiqih dan fiqihnya sekaligus. Muridnya Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi menuturkan,’Syafi’i menetap di Mesir selama 4 tahun. Ia menulis hingga mencapai 1000 lembar dan menyusun buku Al-Umm yang mencakup 2000 lembar dan mentakhrij buku-buku hadits. Semua hal tersebut dilakukan dalam 4 tahun'.

§  Murid-Murid di Mesir

Ada tiga murid Imam Syafi’i yang sangat menonjol di Mesir, yaitu Buwaithi, Muzani dan Rabi' Al-Muradi. Mereka berperan penting dalam menjaga, menyebarkan dan mengembangkan madzhab Syafi’i.

Yusuf bin Yahya Abu Ya’qub Al-Buwaithi dilahirkan di Buwaith, Mesir. Beliau membersamai Imam Syafi’i dan belajar padanya di Mesir, lalu menggantikannya dalam pengajaran majelis dan fatwa setelah wafatnya. Nama Buwaithi banyak disebut-sebut dalam buku-buku madzhab Syafi’i.

Buwaithi merupakan salah satu murid Imam Syafi’i yang paling menonjol dalam meriwayatkan madzhab jadid bahkan ia mencapai derajat mujtahid madzhab. Buwaithi menulis buku Mukhtashar yang merupakan ringkasan dari perkataan-perkataan Syafi’i serta menulis dalam ilmu waris. Ketika terjadi fitnah Khalqul Quran, ia dipanggil ke Baghdad oleh Khalifah Watsiq karena menolak pendapat bahwa Al-Quran adalah makhluk. Ia pun dipenjara dan wafat di dalamnya pada tahun 231 hijriah.

Buwaithi diutamakan oleh Imam Syafi’i dibandingkan murid-murid yang lain. Ia dipercaya untuk berfatwa di masa hidup sang Imam, bahkan Syafi’i mengatakan pada orang yang hendak meminta fatwa padanya,’Orang ini (Buwaithi) adalah lisanku’.

Isma’il bin Yahya Al-Muzani dilahirkan di Mesir pada tahun 175 hijriah. Beliau belajar dan membersamai Imam Syafi’i setibanya beliau di Mesir. Muzani merupakan murid spesial di antara murid-murid lain. Kemampuan fiqihnya mendalam, argumentasinya kuat dalam perdebatan, bersikap zuhud, wara’ dan banyak beribadah.

Muzani menulis beberapa buku di antaranya: Al-Jami’ Ash-Shaghir, Al-Mantsur wal Masa`il Mu’tabar dan Al-Mukhtashar Ash-Shaghir. Buku yang paling terkenal adalah Al-Muktashar Ash-Shaghir yang sering disebut Mukhtashar Muzani. Mukhtashar Muzani menjadi rujukan penting bagi ulama-ulama Syafi’iyyah setelahnya dalam menyusun pembahasan fiqih. Para ulama Syafi’iyyah juga menjelaskan dan memaparkan lebih detail kandungan dari Mukhtashar Muzani. Di antara para ulama pun ada yang menyatakan bahwa Muzani telah mencapai derajat mujtahid mutlak setelah menguasai madzhab Syafi’i, dikarenakan ia mampu berijtihad dan menghasilkan pendapatnya sendiri yang berbeda dengan Imam Syafi’i.

Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi dilahirkan di Mesir pada tahun 174 hijriah. Ia menjadi murid Imam Syafi’i dan membersamai beliau dalam waktu yang sangat lama hingga mampu meriwayatkan semua karya tulis Syafi’i di Mesir. Rabi’ Al-Muradi merupakan seorang yang tsiqah dan kuat riwayatnya sehingga menjadi rujukan utama dalam riwayat madzhab bahkan melebihi riwayat Muzani. Nama Rabi’ banyak dijumpai di buku-buku madzhab Syafi’i. Jika disebut Rabi’ secara bebas, maka maksudnya adalah Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi.

Rabi’ Al-Muradi masih hidup selama 66 tahun setelah wafatnya Imam Syafi’i rahimahullah. Ia banyak menyebarkan buku-buku Syafi’i yang muncul di Mesir dengan sanad tertinggi sehingga menjadi tujuan berbagai pencari ilmu dari berbagai penjuru. Rabi’ memiliki jasa besar dalam menyebarkan dan mempertahankan keberadaan madzhab Syafi’i.

Sungguh Imam Syafi’i memiliki keistimewaan karena mampu menuliskan madzhabnya dari ushul (dasar) hingga furu’ (cabang) dan telah mendidik murid-murid yang mampu mempertahankan, menyebarkan dan mengembangkan madzhabnya.

Rabi’ banyak membersamai kemanapun sang guru pergi. Suatu ketika ia menemani Syafi’i untuk menjaga perbatasan di kota Iskandariah, Mesir. Di sana Syafi’i melaksanakan shalat 5 waktu di masjid lalu membaca Al-Quran di pos patroli sambil menghadap ke laut. Kala itu bertepatan dengan bulan Ramadhan dan Syafi’i mampu mengkhatamkan Al-Quran sebanyak 60 kali.

Kemampuan memanah Syafi’i yang terlatih sejak kecil, merupakan modalnya untuk menjaga perbatasan. Beliau terus mengasah kemampuan tersebut sebagai pengamalan dari surat Al-Anfal ayat 60. Syafi’i merupakan seorang ulama mujtahid mutlak yang tidak hanya banyak ilmunya namun serius dalam mengamalkannya. Dalam buku fiqihnya, beliau juga menyertakan pembahasan jihad, lomba dan panahan. Hal tersebut beliau amalkan dengan keikutsertaan dalam menjaga perbatasan. Hal itu dilakukan di bulan Ramadhan agar mendapat keutamaan ribath (menjaga wilayah perbatasan), puasa dan shalat malam. Semoga Allah meridhai semua ulama yang kuat dalam berilmu dan beramal.

§  Akhir Hayat Sang Imam 

Menjelang wafatnya, Imam Syafi’i tertimpa penyakit wasir yang parah. Sakit yang parah hingga darahnya membasahi pakaiannya. Lalu berhembuslah nafas mulia yang terakhir di akhir bulan Rajab tahun 204 hijriah di usia 54 tahun. Beliau pun dikuburkan di hari jumat. Semoga Allah meridhainya, menempatkannya di surga terbaik, mengekalkan manfaat ilmunya dan kita digolongkan sebagai orang-orang shalih bersama beliau, aamiin.

Referensi:

د. أكرم يوسف عمر القواسمي, المدخل إلى مذهب الإمام الشافعي, أردن: دار النفائس, 1423

Karya Warisan Imam Syafi’i

Oleh: Ahmad Faisal, Lc, M.E

§  Proses Penulisan

Imam Syafi’i hidup di zaman yang sangat produktifnya umat Islam melahirkan karya tulis dalam berbagai bidang ilmu seiring berkembangnya teknologi percetakan. Meskipun Imam Syafi’i memiliki kemampuan menghafal yang kuat namun semangat menulisnya pun tidak kalah. Beliau menulis apa-apa yang diajarkan oleh gurunya. Saat di Baghdad, beliau banyak menulis hal-hal yang diajarkan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani.

Waktu yang disukainya untuk menulis ialah saat malam hari yang gelap dan tenang sehingga ia bisa memfokuskan pikirannya dan menuangkan ilmunya dengan jernih. Al-Hafizh Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang tersambung dari Rabi’ Al-Muradi, ia mengatakan,’Syafi’i membagi malam menjadi tiga bagian, pertama menulis, kedua shalat dan ketiga tidur’.

Imam Syafi’i mampu menggabungkan aktivitas menulis, mengajar dan mendikte dalam satu majelis. Dari majelis tersebut, para muridnya menulis hal-hal yang dikatakan dan didiktekan oleh Imam Syafi’i. Hasil tulisan para muridnya berdasarkan diktenya merupakan bagian dari karya Imam Syafi’i meskipun bukan melalui tangan Imam Syafi’i secara langsung. Ada juga di antara mereka yang menulis dengan susunan sendiri mengenai hal-hal yang didiktekan Imam Syafi’i, maka karya tersebut berasal dari muridnya namun referensi ilmunya dari penjelasan Imam Syafi’i.

Berdasarkan studi, karya-karya yang dianggap sebagai warisan Imam Syafi’i terbagi menjadi tiga macam berdasarkan prosesnya:

1.      Karya yang ditulis langsung oleh tangan Imam Syafi’i saat sendiri ataupun dalam majelis ilmu.

2.      Karya yang ditulis oleh murid-muridnya dari hasil dikte Imam Syafi’i.

3.      Karya yang ditulis atas susunan dan pemahaman masing-masing murid berdasarkan perkataan Imam Syafi’i.

Metode penulisan Imam Syafi’i dalam sebagian besar karyanya yaitu menjelaskan persoalan dari berbagai sisi, dijelaskan dengan susunan dialog (khususnya dalam perkara khilaf), mengutarakan pendapat yang benar disertai dalil yang tepat, terkadang membuat pertanyaan prediksi dan menjawabnya dengan bagus. Metode ini mirip dengan buku fiqih perbandingan di zaman modern.

Dalam karya-karya Imam Syafi’i bisa ditemukan keindahan gaya bahasa, kedalaman fiqih, penjelasan yang rasional dan argumentasi yang kokoh.

§  Karya-Karya Sang Maestro

Banyak karya-karya Imam Syafi’i yang tercatat dalam sejarah, namun tidak semua naskahnya sampai kepada kita di zaman kontemporer. Di antara karya-karya yang naskahnya belum sampai di zaman kita seperti Al-Hujjah, Ar-Risalah Al-Qadimah, Al-Mabsuth dan As-Sunan riwayat Harmalah. Adapun karya-karyanya yang sampai kepada kita di antaranya: Al-Umm, Ar-Risalah Al-Jadidah, Ikhtilaf Malik wa Syafi’i, Ibthalul Istihsan, Jima’ul ‘Ilm, Ikhitilaful Hadits, Ma’rifatus Sunan wal Atsar, Ahkamul Quran dan Musnad Syafi’i. Imam Syafi’i biasanya tidak memberi nama-nama khusus pada karyanya namun murid-murid dan pengikut setelahnya yang memberi nama sesuai konteks yang cocok pada buku-bukunya.

Buku Al-Hujjah berisi madzhab qadim dalam perkara fiqih yang diriwayatkan oleh murid-murid Syafi’i di Baghdad. Yang paling masyhur dalam meriwayatkan Al-Hujjah ialah Hasan Az-Za’farani dan Abu Ali Al-Karabisi. Disebut Al-Hujjah (bermakna argumentasi) karena di dalamnya terdapat bantahan-bantahan terhadap pendapat fiqih Madrasah Ahli Ra`yi dan menguatkan fiqih Madrasah Ahli Hadits.

Al-Mabsuth merupakan buku fiqih yang menjadi karya pertengahan antara Al-Hujjah dan Al-Umm. Al-Mabsuth diriwayatkan oleh Az-Za’farani dan Rabi Al-Muradi. Al-Mabsuth berisi revisi dari sebagian isi Al-Hujjah sekaligus menjadi panduan untuk menyusun Al-Umm.

Ar-Risalah merupakan buku pertama dalam bidang ilmu ushul fiqih yang menjadi landasan utama bagi buku-buku semisal berikutnya. Imam Syafi’i menulis Ar-Risalah dua kali, saat di Baghdad dan di Mesir. Disebut Ar-Risalah karena awalnya merupakan surat jawaban atas permintaan Abdurrahman bin Mahdi. Ar-Risalah Al-Jadidah merupakan revisi terakhir setelah ditulisnya Al-Umm, karena dalam Ar-Risalah terdapat banyak nukilan penerapan kaidah dalam persoalan fiqih yang diambil dari buku fiqih Imam Syafi’i. Ar-Risalah ditulis dan diriwayatkan oleh Rabi’ Al-Muradi. Ar-Risalah menjadi standar cara berijtihad yang menengahi antara Madrasah Hijaz yang dominan dalam berdalil dengan hadits dan Madrasah Irak yang dominan dalam berdalil menggunakan ijtihad logis.

Al-Umm merupakan buku istimewa dalam bidangnya, satu-satunya di zamannya, gaya bahasa yang menarik dan indah, maknanya mendalam, mengandung diskusi yang kuat, membahas persoalan dengan matang menggunakan dalil naqli dan aqli serta menghasilkan pendapat yang kokoh. Al-Umm menjadi sumber madzhab jadid setelah Imam Syafi’i sampai di Mesir. Disebut Al-Umm (induk) karena di dalamnya terkumpul pembahasan-pembahasan fiqih yang sangat luas dan menjadi rujukan utama bagi para ulama madzhab Syafi’i setelahnya.

Ibthalul Istihsan merupakan buku yang mengkritisi secara detail mengenai dalil istihsan yang sering digunakan madzhab Hanafi. Adapula buku Jima’ul ‘Ilm yang menjelaskan mengenai keabsahan argumentasi hadits/as-sunnah, posisi hadits terhadap Al-Quran, kriteria ijma’ yang sah dan ketentuan dalam khilaf fiqhi (perbedaan fiqih).

Ikhtilaful Hadits merupakan buku yang berisi kaidah-kaidah dalam menyikapi hadits-hadits yang secara zhahir (tekstual) bertentangan serta menguatkan sahnya berdalil dengan hadits ahad. Hari ini pembahasan tersebut disebut ilmu Musykilul Hadits. Dalam buku ini, Imam Syafi’i menjelaskan sebab-sebab terjadinya pertentangan zhahir antar hadits-hadits dan meletakkan kaidah-kaidah untuk menyikapinya. Kaidah-kaidah tersebut ada tiga:

1.      Menggabungkan makna hadits jika memungkinkan.

2.      Menasakh hadits yang lebih awal (mansukh) dengan hadits yang lebih akhir (nasikh).

3.      Jika tidak bisa digabungkan atau dinasakh maka ditarjih (memilih hadits yang lebih kuat).

Ma’rifatus Sunan wal Atsar disusun oleh Al-Hafizh Baihaqi dengan cara mengumpul hadits-hadits Nabi dan atsar (perkataan) sahabat yang dicantumkan Imam Syafi’i dalam buku-buku fiqihnya. Baihaqi menyebutkan sanad setiap hadits atau atsar lalu menjelaskan derajat hadits dari segi shahih atau dha’ifnya serta menjelaskan kekurangan (‘illah)  yang ada dalam riwayat yang dha’if. Baihaqi menyusun pembahasan dalam Ma’rifatus Sunan wal Atsar mengikuti bab-bab fiqih dalam Mukhtashar Muzani. Secara garis besar, buku ini mencakup 3 hal:

1.      Riwayat hadits dan atsar yang dimiliki Imam Syafi’i.

2.      Dalil-dalil fiqih yang digunakan Imam Syafi’i dalam berijtihad.

3.      Mempelajari ‘illah (cacat) hadits secara terapan.

Ma’rifatus Sunan wal Atsar seperti ensiklopedia dalil-dalil yang digunakan Imam Syafi’i. Buku ini jika dipelajari dengan Al-Umm yang merupakan rujukan utama dalam madzhab jadid, maka akan menghasilkan manfaat yang luar biasa.

Musnad Syafi’i disusun oleh ahli hadits Abul Abbas Al-Asham (wafat 346 H) dengan cara mengumpulkan riwayat-riwayat hadits dan atsar dari Imam Syafi’i, terutama yang ada di dalam buku Al-Umm. Urutan pembahasannya bukan berdasarkan bab-bab fiqih hingga muncul Muhammad ‘Abid As-Sanadi (wafat 1257 H) yang mengkaji ulang Musnad Syafi’i lalu mengurutkannya berdasarkan bab-bab yang teratur. Dalam Musnad ini ada sejumlah hadits yang memiliki sanad emas yaitu riwayat Syafi’i dari Malik dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar hingga sumbernya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sanad tersebut termasuk yang paling shahih.

Ahkamul Quran memiliki 2 versi, yaitu versi yang ditulis Imam Syafi’i secara langsung dan versi yang disusun oleh Baihaqi. Ahkamul Quran yang ditulis secara langsung oleh Imam Syafi’i tidak ditemukan bahkan oleh Baihaqi. Adapun Ahkamul Quran yang ditulis Baihaqi merupakan hasil pengumpulan perkataan Imam Syafi’i ketika membahas dan menafsirkan Al-Quran dari sisi kandungan hukum. Tafsir Syafi’i tersebut diperoleh Baihaqi dengan sanad melalui Muzani, Rabi’ Al-Muradi dan Harmalah.

Buku-buku yang disebutkan tersebut bukanlah batas dari warisan karya Sang Imam. Masih ada karya-karya lain yang belum disebutkan atau belum sampai ke zaman kita. Yang pasti, berbagai karya tersebut menunjukkan keluasan dan kedalam ilmu Sang Imam dalam ilmu syariah dengan berbagai cabangnya. Setiap karyanya menjadi rujukan penting dalam bidang yang dibahasnya. Semoga Allah merahmati beliau, memberkahi karyanya dan menjadikannya manfaat bagi umat manusia hingga akhir zaman.

Referensi:

د. أكرم يوسف عمر القواسمي, المدخل إلى مذهب الإمام الشافعيأردن: دار النفائس, 1423