Sejarah Pembentukan

 Madzhab Syafi'i

Sejarah Pembentukan Madzhab Syafi’i: 

Fase Kemunculan dan Penyebaran Fiqihnya (195-270 H)

§  Munculnya Madzhab Qadim (195-199 H)

Kemampuan berijtihad secara mandiri pada Imam Syafi’i telah ada semenjak meninggalkan Baghdad pada perjalanan pertama. Sesampainya di Mekkah pada tahun 189 H, beliau membina majelis ilmu fiqih di Masjidil Haram dan memberikan fatwa pada masyarakat. Kemampuan ijtihad Imam Syafi’i semakin terlihat khas dengan ushul (pondasi) dan furu’ (cabang permasalahan) yang disusun & ditulisnya sendiri ketika mengunjungi Baghdad kedua kalinya pada tahun 195 H. Saat itulah beliau memunculkan karya-karya awalnya berupa buku Al-Hujjah dan Ar-Risalah Al-Qadimah. Murid-muridnya yang cemerlang mengelilinginya dan meriwayatkan fiqih Imam Syafi’i di Baghdad yang disebut dengan madzhab qadim. Madzhab qadim ini berlaku hingga tahun 199 H.

Perlu dipahami lebih mendalam mengenai istilah fiqih Imam Syafi’i dan madzhab Syafi’i. Fiqih Imam Syafi’i maksudnya ialah metode ijtihadnya yang khas dan sekumpulan pendapat-pendapat hasil ijtihadnya dalam persoalan hukum syariah. Adapun madzhab Syafi’i ialah sekumpulan karya ilmiah fiqih dalam ushul maupun furu’ yang dilakukan para ulama mujtahid selama berabad-abad dengan berlandaskan fiqih Imam Syafi’i. Dalam hal ini, fiqih bermakna lebih khusus daripada madzhab. Fiqih Syafi’i masuk ke dalam madzhab Syafi’i sebagai landasan utama, adapun madzhab Syafi’i lebih luas tidak hanya hasil ijtihad beliau namun mencakup hasil ijtihad ulama Syafi’iyyah setelahnya.

§  Munculnya Madzhab Jadid (199-204 H)

Imam Syafi’i bersafar ke Mesir pada akhir tahun 199 H lalu menetap di sana hingga akhir hayatnya di tahun 204 H. Dalam masa 4 tahun di Mesir, beliau mengubah banyak hasil ijtihad sebelumnya dan menulis revisi dari fiqihnya. Murid-muridnya di Mesir tekun menghadiri majelisnya dan menerima serta mengemban riwayat hasil ijtihadnya yang baru. Hasil ijtihad Imam Syafi’i di Mesir disebut madzhab jadid yang terangkum dalam kitab Al-Umm dan Ar-Risalah.

Penamaan madzhab qadim dan madzhab jadid hanyalah sebuah istilah untuk menjelaskan perkembangan proses ijtihad Imam Syafi’i dari waktu ke waktu, karena pada hakikatnya madzhab Syafi’i hanya satu yang muncul dari pribadi yang satu dengan kekhasan ushul dan furu’nya. Selain itu, ada 3 sebab yang mendorong penyebutan istilah madzhab qadim dan jadid:

1. Perubahan ijtihad Imam Syafi’i dipengaruhi oleh perpindahan tempat yang sebelumnya berada di Hijaz & Irak lalu berpindah ke Mesir.

2.     Perubahan ijtihad Imam Syafi’i diiringi penulisan buku baru yang memiliki perbedaan dengan buku yang ditulis sebelumnya di Baghdad sehingga dua karya dari dua tempat yang berbeda menunjukkan kekhasan masing-masing.

3.   Murid-murid Imam Syafi’i yang berada di Irak tidak mengikuti beliau saat berpindah ke Mesir sehingga mereka tetap meriwayatkan dan mengajar apa yang mereka dapati di Irak. Mereka tidak mendapatkan hasil revisi ijtihad Imam Syafi’i di Mesir yang diriwayatkan oleh murid-murid lain. Maka muncullah murid-murid Imam Syafi’i dalam dua golongan, Irakiyyun dan Misriyyun. Seandainya Imam Syafi’i menghasilkan semua ijtihadnya di satu tempat saja tentu tidak muncul istilah qadim dan jadid.

Adapun sebab-sebab yang mendorong Imam Syafi’i melakukan ijtihad baru di Mesir yaitu:

-    Penelitian terhadap hadits-hadits dan atsar yang baru didengar di Mesir serta masukan dari fiqih-fiqih berbagai ulama yang sudah ada di Mesir sebelumnya.

-        Bertambah kuatnya penggunaan qiyas dalam ijtihad.

-        Perbedaan kondisi lingkungan secara adat dan sosial.

Madzhab jadid tidak berbeda seratus persen dari madzhab qadim karena ada sebagian pembahasan yang tidak dirubah oleh Imam Syafi’i.

§  Penyebaran Fiqih Syafi’i Oleh Murid-Muridnya 

(204-270 H)

Imam Syafi’i wafat pada bulan Rajab tahun 204 H dengan meninggalkan warisan ilmu fiqih yang berlimpah dan diemban oleh beberapa muridnya yang ikhlas dan istimewa lalu mengajarkannya serta tetap berpegang pada metode ijtihad yang diajarkan Sang Imam. Murid-muridnya di Mesir menjaga keutuhan fiqih Syafi’i dengan maksimal lewat periwayatan, penulisan dan dialog-dialog ilmiah. Para pencari ilmu dari berbagai wilayah menuju Mesir untuk mendapatkan fiqih Syafi’i yang sudah matang.

Dari sekian banyak murid Imam Syafi’i yang menyebarkan fiqihnya, ada 3 murid yang paling menonjol yaitu Buwaithi, Muzani dan Rabi’ Al-Muradi. Allah menganugerahi Imam Syafi’i 3 murid spesial tersebut, Buwaithi menggantikan peran Sang Guru dalam majelis ilmu setelah wafatnya, Muzani menguatkan madzhab Syafi’i dengan kemampuan argumentasi yang kokoh dan Rabi Al-Muradi menjaga tulisan-tulisan Sang Guru di Mesir dengan hafalan dan tulisannya sehingga bertahan berabad-abad. Peran mereka menjadi satu kontribusi yang sangat penting dalam menjaga keberadaan madzhab Syafi’i hingga hari ini.

Di fase ini, ada 3 hal penting yang berkaitan dengan kondisi umum murid-murid Syafi’i:

1.  Murid-murid Syafi’i saat itu tidak memegang jabatan hakim. Jabatan hakim kala itu didominas ulama-ulama Hanafi.

2.     Mereka tidak menyusun buku ushul fiqih.

3.  Belum ada yang menyusun buku profil murid-murid Syafi’i. Buku profil para ulama Syafi’i baru muncul lebih dari 130 tahun setelah wafatnya Rabi’ Al-Muradi.

§  Munculnya Madzhab Zhahiri

Daud bin Ali Al-Ashfahani yang dikenal dengan sebutan Daud Azh-Zhahiri pernah menjadi penganut madzhab Syafi’i melalui ulama-ulama Irak seperti Abu Tsaur dan Abu Ishak Rahawaih. Bahkan Daud merupakan pengikut fanatik madzhab Syafi’i hingga menulis 2 buku tentang keutamaan Imam Syafi’i.

Daud mendalami madzhab Syafi’i hingga ia mampu berijtihad dengan kaidah-kaidahnya yang mandiri. Madzhab Daud ini lalu dikenal dengan madzhab zhahiri karena didominasi pemahaman yang bergantung pada zhahir (penampakan) teks Al-Quran dan As-Sunnah serta menolak qiyas. Ia pun menjadi mujtahid dengan madzhab sendiri karena memiliki perbedaan dalam ushul Syafi’i (terutama dalam hal ijmak dan qiyas) dan terdorong semangat dari pesan-pesan Syafi’i untuk selalu merujuk pada dalil yang shahih meskipun berbeda dengan pendapat Syafi’i.

Referensi:

د. أكرم يوسف عمر القواسمي, المدخل إلى مذهب الإمام الشافعي أردن: دار النفائس, 1423 

Sejarah Pembentukan Madzhab Syafi’i: 

Fase Kestabilan Eksistensi Madzhab (270-505 H)

§  Terbentuknya Madzhab Syafi’i Serta Persebarannya (270-404 H)

Di pembahasan sebelumnya telah dijelaskan perbedaan maksud dari fiqih Syafi’i dan madzhab Syafi’i. Madzhab Syafi’i memiliki makna luas tidak terbatas pada madzhab qadim & jadid namun juga mencakup semua hasil ijtihad para ulama yang mengikuti ushul & furu’ Sang Imam dalam waktu lebih dari seribu tahun lamanya.

Murid-murid dari murid-murid Imam Syafi’i menyebar ke berbagai wilayah Islam untuk mengajarkan fiqih, berfatwa bahkan ada yang berijtihad sesuai kaidah-kaidah yang berasal dari Imam Syafi’i. Mereka terus melakukan kajian pada karya-karya yang berasal dari Mesir dan yang sangat menonjol adalah Mukhtashar Muzani.

Meskipun mereka berpencar dan berijtihad masing-masing, tetapi mereka memiliki pola & metode yang sama dalam menyimpulkan hukum syariah sehingga menjadi suatu hal yang khas dan berbeda dari ulama-ulama lain yang berijtihad dengan metode dari Imam Abu Hanifah ataupun Imam Malik. Dari keterikatan cara berijtihad inilah orang-orang menyebut mereka ulama madzhab Syafi’i karena sama-sama mengikuti kaidah-kaidahnya dalam berijtihad baik secara ushul maupun furu’. Mereka disebut Syafi’iyyah atau Syafi’iyyun. Pada abad keempat hijriah, penamaan mereka pun dinisbatkan pada madzhab fiqih seperti Syirazi Asy-Syafi’i dan lain-lain.

Selain fenomena tersebut, munculnya buku-buku tentang profil para ulama yang terikat dalam persamaan panutan dalam ijtihad satu Imam yang sama juga menandai munculnya istilah madzhab fiqih dengan nama Sang Imam.

Diantara ulama-ulama yang menonjol dalam menyebarkan madzhab Syafi’i di fase ini yaitu:

-   Abul Qasim Utsman bin Basyar Al-Anmathi (murid Muzani dan Rabi’ Al-Muradi).

-    Abul Abbas Ahmad bin Umar bin Suraij Al-Baghdadi (murid Abul Qasim Al-Anmathi).

-    Abu Zur’ah Muhammad bin Utsman bin Ibrahim Ad-Dimasyqi (murid Rabi’ Al-Muradi).

-       Abul Abbas Al-Asham (murid Rabi’ Al-Muradi).

Di fase ini bermunculan ulama dari madzhab Syafi’i yang mencapai kemampuan ijtihad mutlak seperti Ibnul Mundzir An-Naisaburi dan Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Banyak pula ulama hadits yang menekuni fiqih Syafi’i diantaranya: Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah, Abdurrahman bin Abi Hatim, Daruquthni dan lain-lain. Di masa ini, para ulama Syafi’iyyah mulai mendapat posisi kehakiman contohnya: Ibnu Suraij Al-Baghdadi, Abu Zur’ah Ad-Dimasyqi, Abu Sa’id Hasan bin Ahmad, Abu Sa`ib Utbah bin Ubaidillah dan lain-lain. Adapula yang menjadi menteri seperti Abu Fadhl Muhammad bin Ubaidillah yang dikenal sebagai Bal’ami.

§  Kelanggengan Madzhab Syafi’i (404-505 H) 

Sepanjang sejarah Islam, banyak para ulama yang mencapai derajat ijtihad mutlak namun tidak semuanya meninggalkan jejak ushul & furu’ yang diadopsi para ulama setelahnya. Para ulama yang madzhabnya sempat ada pun tidak semuanya bertahan lama karena berhentinya orang-orang untuk mempelajarinya dan tidak ada lagi yang menulis madzhab tersebut. Namun jejak madzhab-madzhab yang sudah hilang tersebut masih bisa diketahui dari nukilan-nukilan tentang perintisnya di buku fiqih muqaran (fiqih perbandingan madzhab). Contohnya madzhab Laits bin Sa’d yang pernah ada 30 tahun di Mesir dan madzhab Auza’i yang bertahan 150 tahun di Syam.

Ada dua sebab utama bertahannya madzhab Syafi’i lebih dari 1200 tahun hingga hari ini, yaitu:

1. Banyaknya jumlah ulama pakar yang mengemban madzhab Syafi’i, tekun dalam mengajarkan & mengembangkannya serta menghasilkan karya tulis yang banyak.

Saking giatnya ulama Syafi’iyyah dalam menulis maka muncul 2 gaya penulisan yang khas yaitu metode Irakiyyun dan metode Khurasaniyyun. Imam Nawawi menjelaskan dalam muqaddimah Al-Majmu’,’Ketahuilah bahwa penukilan teman kita (ulama) Irakiyyun secara garis besar lebih kuat dan valid daripada ulama Khurasaniyyun, namun secara garis besar Khurasaniyyun lebih baik dalam hal penyusunan dan sistematika.

Ulama yang terkenal dengan metode Irakiyyun: Abu Hamid Ahmad bin Muhammad Al-Isfirayini, Al-Qadhi Abu Thayyib Thahir bin Abdullah Ath-Thabari dan Ali bin Muhammad Al-Mawardi.

Ulama yang terkenal dengan metode Khurasaniyyun: Abu Bakr Al-Marwazi (Al-Qaffal Ash-Shaghir), Abdullah bin Yusuf Al-Juwaini (ayah Imamul Haramain), Qadhi Husain, Imamul Haramain Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf Al-Juwaini dan Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali.

Selain mereka, ada juga ulama Syafi’iyyah lain yang memberikan kontribusi penting di fase ini yaitu: Al-Hafizh Ahmad bin Husain Al-Baihaqi dan Imam Ibrahim bin Ali Asy-Syirazi.


2.      Perhatian penguasa pada madzhab Syafi’i.

Peran penguasa dan pemerintah sangat kuat dalam menjaga keberadaan madzhab Syafi’i, baik dari khalifah, gubernur ataupun menteri. Para penguasa yang mengangkat madzhab Syafi’i ialah:

-          Khalifah Al-Qadir billah Al-Abbasi.

-          Sultan Syamsul Malik, penguasa di Asia Tengah.

-          Menteri Nizhamul Mulk dari Kesultanan Seljuk.

Beberapa hal menjadi ciri khas di fase ini yaitu:

-  Berkurangnya ulama yang mencapai derajat ijtihad mutlak karena mereka lebih sibuk mengkaji karya tulis ulama madzhab yang sangat banyak.

-        Munculnya fanatisme madzhab.

-       Munculnya ensiklopedia fiqih muqaran seperti Al-Hawi yang ditulis Mawardi dan Nihayatul Mathlab yang ditulis Imamul Haramain.

-    Terbentuknya metode penulisan ilmu ushul fiqih khas ulama Syafi’iyyah yang disebut metode Mutakallimin. Buku ushul fiqih yang terkenal dengan metode tersebut: Al-Luma’ (Syirazi), Al-Burhan (Imamul Haramain) dan Mushtashfa (Al-Ghazali). Hal ini menunjukkan perkembangan ilmu ushul fiqih yang pesat pada fase ini.

Referensi:

د. أكرم يوسف عمر القواسمي, المدخل إلى مذهب الإمام الشافعيأردن: دار النفائس, 1423

Sejarah Pembentukan Madzhab Syafi’i:

 Fase Revisi Pertama (505-676 H)

§  Madzhab Syafi’i di Abad 6 Hijriah

Ulama Syafi’iyyah senantiasa mengembangkan & menguatkan madzhabnya, menulis dalam ushul & furu’ sehingga madzhab Syafi’i terus menyebar dan bertahan pada abad 6 hijriah. Pada abad ini madzhab Syafi’i mendapat momentum besar yang menjadikan keberadaannya semakin unggul. Momentum itu ialah berjayanya Mesir sebagai pusat peradaban Islam melalui Sang Panglima Pembebas Masjid Al-Aqsha, Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi. Beliau mengakhiri kekuasaan Fathimiyyah dan menyeru untuk tunduk pada Khalifah Mustadhi` billah Al-Abbasi.

Meskipun Shalahuddin Al-Ayyubi sibuk menghadapi pasukan salib hingga memenangkan perang Hitthin, namun beliau juga semangat mendukung ulama fiqih Ahlus Sunnah wal Jamaah khususnya dari madzhab Syafi’i sebagaimana yang dilakukan Nizhamul Mulk dari Kesultanan Seljuk. Diantara dukungan paling kuat yang diberikan kepada fiqih Ahlu Sunnah wal Jamaah secara umum yaitu pendirian Madrasah Nashiriyyah di Kairo (566 H) dan pendirian Madrasah Shalahiyyah di Kairo (575) sebagai tempat khusus untuk mengajarkan fiqih Syafi’i.

Diantara ulama Syafi’iyyah yang menonjol di abad 6 yaitu:

-         Ibnu Zain At-Tujjar

-         Najmuddin Al-Khabusani

-      Al-Qadhi Abu Ali Abdurrahim (menteri dan sekretaris khusus Sang Sultan)

-     Husain bin Mas’ud Al-Baghawi (ahli fiqih, hadits dan tafsir)

-  Muhammad bin Yahya An-Naisaburi (murid Imam Ghazali)

-   Muhammad bin Umar Ar-Razi alias Fakrurrazi (ahli ushul fiqih, fiqih dan ilmu kalam)

 

§  Peran Dua Imam, Rafi’i dan Nawawi Dalam Revisi Madzhab

Revisi dalam bahasa arab disebut tanqih yang berarti proses pemurnian, pembersihan dan perbaikan. Revisi yang dimaksud disini adalah proses perapihan madzhab Syafi’i yang bertebaran di ratusan buku para ulama dari pendapat-pendapat marjuh (lemah dalilnya) dan syadz (aneh/menyimpang) serta menjelaskan pendapat mu’tamad (kuat & resmi) dari fatwa-fatwa ahli fiqih Syafi’i dalam berbagai bab fiqih.

Proses revisi/tanqih dibutuhkan karena dua sebab utama:

1.     Banyaknya buku-buku fiqih Syafi’iyyah setelah 4 abad dari wafatnya Sang Imam yang bertebaran di berbagai penjuru dunia. Tidak sedikit dari buku-buku tersebut yang mengandung pendapat-pendapat yang tidak sesuai dengan ushul atau kaidah-kaidah dasar dalam madzhab Syafi’i, kesimpulan marjuh atau ijtihad yang menyimpang.

2. Fenomena fanatisme madzhab yang sangat jelas semenjak akhir abad 4 hijriah diiringi menurunnya usaha ijtihad di berbagai madzhab. Sehingga para ulama masing-masing madzhab meninjau ulang tulisan-tulisan dari para ulama panutan dalam madzhabnya untuk melakukan tarjih (pemilihan pendapat terkuat berdasarkan dalil).

Proses revisi ini tentunya membutuhkan semangat tinggi, kerja keras dan ketelitian dalam membaca buku-buku fiqih Syafi’iyyah yang terhampar selama 4 abad sebelumnya. Proses mulia ini telah dilakukan oleh dua Imam: Abdul Karim Ar-Rafi’i dan Yahya bin Syaraf An-Nawawi. Usaha keduanya menunjukkan penguasaan yang matang pada madzhab Syafi’i, keluasaan baca dan penelitian pada buku-buku madzhab serta ulama-ulamanya. Rujukan utama dalam proses revisi berporos pada dua ulama sebelumnya yaitu Sirazi dan Ghazali.

Peran Imam Rafi’i (557-623 H) dalam mengembangkan madzhab Syafi’i terangkum dalam 3 karya tulisnya:

-   Al-Muharrar, merupakan penjelasan dari kitab Wajiz karya Ghazali. Al-Muharrar merupakan buku mu’tamad dalam madzhab Syafi’i.

-    Al-Aziz, merupakan penjelasan dari kitab Wajiz juga namun lebih luas seperti ensiklopedia besar. Disebut juga dengan Syarhul Kabir.

-      Syarhus Shaghir, ia juga penjelasan Wajiz dalam ukuran yang lebih kecil.

Peran Imam Nawawi (631-676 H) dalam mengembangkan madzhab Syafi’i merupakan lanjutan dari usaha yang telah dilakukan Imam Rafi’i. Perannya terangkum dalam 3 karya tulisnya:

-    Raudhatu at-Thalibin, merupakan ringkasan dari Al-Aziz (Syarhul Kabir).

-  Minhaju at-Thalibin wa Umdatu al-Muftin, merupakan ringkasan dari Al-Muharrar.

-   Al-Majmu’, merupakan penjelasan dari kitab Muhadzzab karya Syirazi. Al-Majmu’ merupakan ensiklopedia dalam fiqih perbandingan, namun kitab ini belum tuntas dikarenakan wafat mendahului Imam Nawawi.

Usaha dua Imam tersebut menjadi satu padu dari hasil penelitian ratusan buku fiqih Syafi’i sehingga membersihkan pendapat-pendapat marjuh dan menguatkan pendapat-pendapat mu’tamad melalui tarjih. Oleh karena itu, Ibnu Hajar Al-Haitami menjelaskan dalam kitab Tuhfatu al-Muhtaj bahwa pendapat resmi & utama yang menjadi pegangan madzhab Syafi’i adalah pendapat yang disepakati oleh dua Imam, jika keduanya berbeda pendapat maka pendapat Nawawi didahulukan kecuali pendapat Rafi’i memiliki tarjih yang lebih kuat.

§  Ciri Khas Fase Revisi Pertama

1.  Berkembangnya sikap fanatisme madzhab fiqih & taqlid berlebihan. Hal ini karena para ulama masing-masing madzhab sibuk meneliti pendapat-pendapat ulama-ulama madzhab namun kurang mengembangkan ijtihad langsung pada Al-Quran & As-Sunnah. Fanatisme ini sampai pada kondisi yang buruk yaitu menjelek-jelekkan madzhab lain dan penganutnya, debat kusir dan perpecahan sosial.

 

Lalu muncullah usaha menghidupkan ijtihad dan melepaskan diri dari sikap fanatisme madzhab.  Diantara ulama Syafi’i yang menyeru untuk meninggalkan fanatisme madzhab & taqlid buta ialah Izzuddin Abdul Aziz bin Abdus Salam (ahli ushul fiqih, fiqih dan inspirator ilmu kaidah fiqih). Dengan keluasan ilmu fiqih dan ketelitian ijtihadnya ia pun mengatakan dalam kitabnya Qawa’idul Ahkam fi Mashalih al-Anam:

 

“Diantara hal yang mengherankan yaitu para ahli fiqih yang bertaqlid tetap bertahan pada lemahnya argumentasi imam madzhabnya, tidak memiliki bantahan kuat namun tetap bertaqlid dan lalai dari Al-Quran, As-Sunnah dan qiyas-qiyas shahih dari madzhabnya dalam kondisi saklek dengan sikap taqlid pada imamnya. Bahkan berusaha mencari pembenaran untuk membantah zhahir Al-Quran & As-Sunnah dengan takwil yang jauh dan batil untuk membela orang-orang yang bertaqlid. Maka berbicara dengan mereka ialah sia-sia dan mengarah pada perpecahan dan permusuhan tanpa ada faidah dari sikap kekeh. Aku tidak melihat satupun (dari mereka) yang meninggalkan madzhab imamnya jika tampak padanya kebenaran pada orang lain bahkan terus berpegang pada madzhabnya meskipun ia tahu itu pendapat lemah & jauh dari benar. Maka lebih utama meninggalkan pembahasan dengan mereka yang jika tidak sanggup membela madzhabnya lalu berkata,’Bisa jadi imamku punya dalil yang belum aku dapati’ padahal orang yang prihatin ini tidak menyadari bahwa ada dalil yang jelas dan argumentasi nyata dari orang lain yang menyelisihinya. Subhanallah, betapa banyak yang dibutakan oleh taqlid berlebihan hingga sampai pada kondisi tadi! Semoga Allah memberi kita petunjuk untuk mengikuti kebenaran darimanapun dan dari lisan siapapun. Dimana kondisi tersebut dibanding para salaf yang bermusyawarah mengenai hukum-hukum dan bersegeranya mereka mengikuti kebenaran walaupun berasal dari orang yang menyelisihinya. Telah diriwayatkan dari Syafi’i rahimahullah bahwa ia berkata,’Tidaklah aku berdebat dengan siapapun kecuali aku mengatakan ‘Ya Allah alirkan kebenaran melalui hatinya dan lisannya sehingga jika kebenaran bersamaku maka ia mengikutiku & jika kebenaran bersamanya maka aku mengikutinya’.”

 

Tentunya fenomena yang disebutkan Izzuddin bin Abdussalam terjadi pada para ahli fiqih yang memahami ilmu ijtihad lalu bertaqlid buta. Hal ini tidak bisa disamaratakan pada semua orang apalagi orang awam yang tidak memahami ilmu ijtihad.

 

2.     Munculnya metode jamak dan takhrij furu’ ‘alal ushul. Di fase sebelumnya, muncul gaya penulisan ushul fiqih khas madzhab Syafi’i yang disebut metode Mutakallimin. Metode ini melampirkan kaidah-kaidah ushul fiqih namun jauh dari contoh-contoh furu’ fiqih. Diantara buku yang ditulis dengan metode ini: Al-Mahshul (Fakhrurrazi) dan Al-Ihkam (Amidi). Sedangkan metode Fuqaha dari Hanafiyyah membahas furu’ lalu mengeluarkan darinya kaidah-kaidah ushul.

 

Pada abad 7 hijriah muncullah metode baru untuk mengkompromikan dua metode tersebut yaitu metode Jamak (gabungan Mutakallimin & Fuqaha) dan metode takhrij furu’ ‘alal ushul.

 

Metode jamak menjelaskan dahulu mengenai kaidah ushul, dalil kaidah dan menjelaskan perdebatan seputarnya lalu mendatangkan contoh-contoh furu’ yang berhubungan. Contoh buku dengan metode ini: Badi’u an-Nizham (Ahmad bin Ali As-Sa’ati Al-Hanafi).

 

Metode takhrij furu’ ‘alal ushul ialah menghubungkan & mengeluarkan furu’ berdasarkan ushul yang mendasarinya. Contoh buku dengan metode ini: Takhriju al-Furu’ ‘ala al-Ushul (Mahmud bin Ahmad Az-Zanjani).

 

3.     Banyaknya ahli hadits yang menekuni madzhab Syafi’i seperti Ibnu Shalah, Ibnu Abiddam dan Al-Hafizh Al-Mundziri. Diantara daya tarik para ahli hadits tersebut ialah kontribusi Imam Syafi’i dalam ilmu hadits yang terdapat pada buku-bukunya bahkan ia mendapat gelar Penolong As-Sunnah.

 

Referensi:

د. أكرم يوسف عمر القواسمي, المدخل إلى مذهب الإمام الشافعي أردن: دار النفائس, 1423

Sejarah Pembentukan Madzhab Syafi’i: 

Fase Revisi Kedua (676-1004 H)

§  Perkembangan Madzhab di Era Mamalik (676-926 H)

Kesultanan Mamalik terbagi menjadi dua bagian: Mamalik Bahriyyah di Jazirah Raudhah dan Mamalik Barjiyyah di sebelah timur laut hitam. Puluhan sultan Mamalik pernah berkuasa namun banyak yang berakhir dengan pembunuhan atau pelengseran. Kondisi kehidupan di era Mamalik tidak stabil karena banyaknya perang melawan tentara Salib dan tentara Mongol, jalur perdagangan yang tidak aman, terhambatnya industri & pertanian serta perang internal Kesultanan Mamalik.

Dalam kondisi tersebut tentu perkembangan ilmu pengetahuan menjadi macet. Kualitas fiqih masyarakat pun banyak diwarnai fanatisme madzhab, taqlid buta bahkan ada seruan tertutupnya pintu ijtihad. Namun masih ada ulama Syafi’i yang tetap mengembangkan madzhab seperti: Najmuddin bin Rif’ah, Taqiyuddin As-Subki, Tajuddin As-Subki, Baha`uddin As-Subki, Jamaluddin Al-Isnawi, Syihabuddin Al-Adzra’i, Badruddin Az-Zarkasyi, Sirajuddin Al-Bulqini, Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan Zakariya bin Muhammad Al-Anshari. Banyak dari mereka yang beraktivitas di Mesir, mengkaji dan menjelaskan karya-karya Nawawi & Rafi’i serta mengembangkan ilmu ushul fiqih.

§  Peran Dua Imam, Haitami dan Ramli Dalam Revisi Kedua (926-1004 H)

Ibnu Hajar Al-Haitami dan Syamsuddin Ar-Ramli hidup di akhir era Mamalik dan awal masa Kesultanan Utsmani. Kesultanan Utsmani dikenal sebagai negara yang kuat di dalam wilayahnya dan disegani musuh-musuhnya dari luar. Kekuasaan Utsmani membentang luas mencakup semua bekas wilayah Mamalik, Anatolia, beberapa bagian Eropa, Irak, Jazirah Arab dan lain-lain. Pengaruhnya terus meluas hingga mencapai Nusantara.

Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Hajar Al-Haitami dilahirkan di wilayah barat Mesir pada tahun 909 H. Beliau telah menghafal semua Al-Quran sejak kecil lalu menghafalkan Minhaju at-Thalibin. Beliau juga menjalani pembelajaran di Al-Azhar Kairo bersama ulama besar. Diantara gurunya adalah Zakaria Al-Anshari dan Syihabuddin Ar-Ramli.

Ibnu Hajar sangat menguasai berbagai cabang ilmu syariah khususnya fiqih Syafi’iyyah. Kemudian beliau melakukan perjalanan haji ke Mekkah dan singgah pula di Madinah selama beberapa tahun. Beliau menulis beberapa karya, mengajarkan fiqih di dua kota suci dan berfatwa berdasarkan madzhab Syafi’i. Karya tulisnya yang sangat berpengaruh: Tuhfatu al-Muhtaj fi syarhi al-Minhaj (Tuhfah), al-Minhaj al-Qawim dan Fatawa Makkiyyah.

Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Hamzah Ar-Ramli dilahirkan di desa Ramlah, Mesir pada tahun 919 H. Beliau tumbuh di bawah pendidikan ayah seorang ulama fiqih Syihabuddin Ar-Ramli. Ramli menghafal Al-Quran dan banyak matan Syafi’iyyah, menekuni berbagai cabang ilmu bahasa Arab. Ramli juga pernah berguru dengan Muhammad Asy-Syirbini. Setelah ayahnya wafat, beliau menjadi mufti madzhab Syafi’i di Mesir sekaligus rujukan utama madzhab.

Ramli menulis buku-buku penting dalam madzhab Syafi’i, diantaranya: Nihayatu al-Muhtaj fi syarhi al-Minhaj (Nihayah), Ghayatu al-Bayan fi syarhi Zubad bin Raslan, Syarhu at-Tahrir dan lain-lain.

Hasil revisi dari Haitami dan Ramli sangat penting dalam perkembangan madzhab Syafi’i sebagai panduan bagi para ulama setelahnya. Nihayah karya Ramli menjadi revisi yang mu’tamad bagi ulama Syafi’iyyah di Mesir karena telah dibacakan dan dikaji 400 ulama di hadapan Sang Penulis lalu dikritisi dan diperbaiki hingga keshahihannya mencapai level mutawatir. Adapun Tuhfah karya Haitami menjadi revisi mu’tamad bagi ulama Syafi’yyah di wilayah Hijaz, Yaman dan Syam karena keluasan cakupan teksnya, diteliti ulang oleh Sang Penulis dan banyak ulama sezamannya. Lalu ada ulama Mesir yang mendatangi dua tanah suci yang membandingkan dua karya dari dua imam.

Menurut Dr. Al-Qawasimi (penulis disertasi Madkhal ila Madzhabil Imam as-Syafi’i) bahwa tidak boleh berfatwa yang menyelisihi pendapat keduanya (Haitami & Ramli), apalagi menyelisihi Tuhfah & Nihayah kecuali tidak ditemukan jawabannya dari keduanya maka bisa berfatwa dengan pendapat Syaikhul Islam (Zakaria Al-Anshari) kemudian pendapat Khatib Asy-Syirbini.

Ada 3 perbedaan antara revisi pertama dan revisi kedua dalam madzhab Syafi’i:

1.    Imam Haitami dan Imam Ramli berada di zaman yang sama dan saling bertemu, sehingga usaha mereka tidak dibangun atas karya satu sama lain. Sedangkan Imam Rafi’i telah wafat sebelum lahirnya Imam Nawawi. Imam Nawawi membangun karya berdasarkan hasil revisi dari Imam Rafi’i sehingga karya mereka seperti kesatuan yang terpadu.

2.     Imam Rafi’i dan Imam Nawawi melakukan peninjauan ulang pada buku-buku ulama Syafi’iyyah yang terhampar selama 4 abad yang memerlukan perjuangan lebih besar. Adapun Imam Haitami dan Imam Ramli melakukan revisi terbatas pada buku-buku Syafi’iyyah abad 8 dan 9 hijriah yang berporos pada hasil revisi pertama.

3.  Revisi pertama merujuk pada banyak karya ulama Syafi’iyyah sebelumnya sedangkan revisi kedua lebih berpusat pada Minhaju at-Thalibin (Minhaj).


§  Ciri Khas Fase Revisi Kedua

-   Gaya penulisan yang jauh dari gaya penulisan Imam Syafi’i dalam buku-buku fiqih. Gaya penulisan Imam Syafi’i sangat menunjukkan kepribadiannya sebagai mujtahid ketika menyampaikan hukum-hukum dengan berlandaskan Al-Quran dan tafsirannya, menjelaskan hadits-hadits dan atsar-atsar untuk menyimpulkan hukum Allah pada suatu bab permasalahan. Adakalanya Sang Imam melampirkan diskusi terkait kaidah ushul fiqih dan respon santun pada pihak yang berbeda hasil ijtihadnya.

 

Sedangkan gaya penulisan pada buku-buku fase revisi kedua dipengaruhi oleh fanatisme madzhab yang tidak banyak mencantumkan langsung dalil-dalil dari Al-Quran atau hadits Nabi atau ijmak atau qiyas yang benar. Kebanyakan buku-buku tersebut melampirkan perkataan ulama-ulama madzhab lalu membandingkannya dan mentarjihnya, meskipun masih dalam lingkup pendapat-pendapat internal madzhab Syafi’i saja.

 

-   Munculnya karya tulis dalam ilmu kaidah fiqih dari ulama Syafi’iyyah. Kaidah fiqih adalah hukum atau rumusan yang bersifat menyeluruh mencakup hukum-hukum syariah secara umum dari berbagai bab yang berbeda-beda. Ilmu ini muncul dari hasil kajian kombinasi antara ushul dan furu’ fiqih. Kaidah fiqih membantu kita memahami berbagai persoalan fiqih melalui susunan yang lebih sederhana sehingga lebih mudah diingat serta membantu dalam proses berfatwa dan mencapai maqashid syariah.

 

Ubaidillah bin Hasan Al-Karakhi Al-Hanafi merupakan penulis pertama dalam ilmu kaidah fiqih pada abad keempat. Beliau mengumpulkan 39 kaidah fiqih khusus madzhab Hanafi. Lalu pada abad kedelapan, penulisan dalam ilmu kaidah fiqih semakin pesat khususnya dari kalangan Syafi’iyyah.


Buku Al-Asybah wa an-Nazha`ir karya Shadruddin bin Wakil (wafat pada 716 H) merupakan buku kaidah fiqih pertama dalam madzhab Syafi’i. Lalu Tajuddin As-Subki (wafat pada 771 H) menulis pula dengan judul Al-Asybah wa an-Nazha`ir. Kemudian Badruddin Az-Zarkasyi (wafat pada 793 H) menulis Al-Mantsur fi Tartibi al-Qawa’id Fiqhiyyah.

 

Pada abad kesepuluh, Jalaluddin As-Suyuthi menulis buku kaidah fiqih yang paling utama yaitu Al-Asybah wa an-Nazha`ir fi Furu’i asy-Syafi’iyyah. Buku ini merupakan buku yang paling kaya dan paling bagus secara sistematika penulisan serta paling banyak tersebar di kalangan ulama Syafi’iyyah dan selainnya. Suyuthi telah mengumpulkan pembahasan-pembahasan yang terpencar dari buku-buku sebelumnya menjadi satu padu dan menjadi rujukan utama setelahnya.

Referensi:

د. أكرم يوسف عمر القواسمي, المدخل إلى مذهب الإمام الشافعي أردن: دار النفائس, 1423

Sejarah Pembentukan Madzhab Syafi’i:

 Fase Hasyiyah (1004-1335 H)

§  Pengaruh Kondisi Politik Pada Madzhab Syafi’i

Pada fase ini, kekuatan politik umat Islam dipimpin oleh Khilafah Utsmaniyyah. Kepemimpinan Utsmaniyyah dimulai sejak tahun 923 H ketika Khalifah Mutawakkil III Al-Abbasi menyerahkan Khilafah kepada Sultan Salim I dan ibukota Khilafah berpindah ke Istanbul. Kepemimpinan Utsmaniyyah mulai berakhir ketika Syarif Mekkah, Husain bin Ali menyerukan revolusi untuk keluar dari Khilafah Utsmaniyyah pada tahun (1335-1337). Lalu negeri-negeri Arab mulai melepaskan diri dari Utsmaniyyah dan menjadi terpecah-pecah sebagai wilayah jajahan Eropa (Prancis & Inggris).

Di fase ini, tokoh-tokoh pusat Syafi’iyyah berada di Syam, Mesir dan Hijaz yang merupakan wilayah yang tunduk pada Negara Utsmaniyyah kala itu. Ada 4 hal dari kondisi politik fase ini yang berhubungan dengan madzhab Syafi’i:

1.  Di abad awal kepemimpinan Utsmaniyyah, mereka mampu memenangkan berbagai pertempuran & penaklukkan, khususnya melawan pasukan Salib Eropa yang menyerang wilayah Islam. Kemenangan-kemenangan tersebut menjadi sebab terjaganya negeri-negeri Islam dari penjajahan pasukan Salib. Kekuatan Utsmaniyyah sangat disegani lawan-lawannya hingga beberapa kerajaan Eropa pun mau membayar jizyah padanya dalam beberapa waktu.

 

Keunggulan Utsmaniyyah dalam hal militer sangatlah menonjol, namun kurang diimbangi perhatian pada pengembangan ilmu dan peradaban secara umum. Kondisi ini berefek negatif pada perkembangan ilmu pengetahuan.

 

Utsmaniyyah merupakan bangsa non Arab pertama yang mampu mengemban Khilafah (kepemimpinan pusat Islam) karena sebelumnya selalu diemban oleh bangsa Arab. Utsmaniyyah merupakan bangsa Turki dan memindahkan ibukota Islam ke wilayah Istanbul. Para pemimpin Utsmaniyyah kurang mengutamakan penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa resmi dan harian. Lemahnya penggunaan & penguasaan bahasa Arab mempengaruhi proses pengembangan ilmu fiqih.

 

2. Utsmaniyyah mengadopsi madzhab Hanafi sebagai madzhab resmi dan posisi kepemimpinan ulama (Syaikhul Islam) & hakim diberikan pada ahli fiqih Hanafi. Para ulama hanafi dipercaya untuk membentuk undang-undang fiqih legal yang kemudian dikenal dengan Majalah Ahkam Adliyyah. Kondisi ini tentu mengurangi pengaruh madzhab-madzhab lain termasuk madzhab Syafi’i.

 

3.   Pada fase ini, keberadaan madzhab Syafi’i mencapai wilayah Asia Tengah (Kazakhstan, Uzbekistan, Tajikistan dan lain-lain). Namun di Fase Hasyiyah, tidak muncul ulama-ulama yang menonjol sebagaimana sebelumnya seperti Ghazali, Baghawi dan Fakhrurrazi. Hal ini disebabkan terjadinya perang ganas di wilayah tersebut, munculnya fanatisme kebangsaan dan menyebarnya kebodohan.

 

4.  Di fase sebelumnya (kisaran 676-1004 H), madzhab Syafi’i sudah mulai tersebar di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina) melalui perjuangan para ulama Yaman secara khusus. Muncul ulama Syafi’iyyah dari wilayah tersebut namun perkembangannya menjadi melemah akibat kedatangan penjajah dari Portugal, Spanyol dan Britania sejak abad 11 H.

§  Ulama-Ulama Terkenal Di Fase Hasyiah

Para ulama Syafi’iyyah terus mengembangkan kajian madzhab Syafi’i di fase Hasyiyah. Disebut fase Hasyiyah karena ulama di masa tersebut banyak menulis catatan pinggir atau catatan kaki (dalam bahasa Arab disebut hasyiyah) mengenai karya tulis dari ulama sebelumnya. Ulama Syafi’iyyah di masa ini banyak menulis syarah (penjelasan) mengenai buku-buku yang lahir pada fase revisi pertama atau kedua. Tidak terjadi proses revisi madzhab pada fase ini dikarenakan 2 hal utama:

-  Fase revisi pertama & kedua telah melakukan proses pemurnian, pembersihan dan penguatan madzhab secara sempurna. Ini menjadi keunggulan madzhab Syafi’i dibandingkan madzhab lainnya.

-    Kondisi pada era Utsmani kurang mendukung proses pengembangan madzhab Syafi’i terlebih lagi madzhab Hanafi yang lebih dominan karena dukungan penguasa.

Adapun ulama yang menonjol & terkenal dari fase Hasyiyah adalah:

1.  Ahmad bin Ahmad bin Salamah Al-Qalyubi. Beliau berasal dari desa Qalyub wilayah Mesir timur. Beliau menyumbangkan karya tulis berupa: Fathu al-Qadir (kumpulan hasyiyah penjelasan Tahrir karya Zakaria Al-Anshari), Hasyiyah untuk matan (teks ringkas) Al-Ghayah wa at-Taqrib karya Ibnu Qasim dan Hasyiyah untuk kitab Kanzu ar-Raghibin (syarah Jalaluddin Mahalli pada Minhaju at-Thalibin).

 

2. Ali bin Ali Asy-Syibramalsi. Beliau berasal dari Syibramals wilayah Mesir barat. Pendidikannya berkembang di Al-Azhar Kairo.  Beliau menekuni madzhab Syafi’i dari ushul hingga furu’ hingga menjadi rujukan di Al-Azhar Kairo pada masanya. Diantara karya tulisnya: Hasyiyah pada syarah Ibnu Qasim mengenai Waraqat (kitab ushul fiqih) dan Hasyiyah pada Nihayatu al-Muhtaj (sering disebut Hasyiyah Asy-Syibramalsi).

 

3.  Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdi. Beliau lahir di Damaskus (tahun 1127 H), lalu dibawa keluarganya ke Madinah Munawwarah pada usia 1 tahun. Beliau menekuni ilmu fiqih dan menguasai madzhab Syafi’i hingga menjadi mufti madzhab Syafi’i di Madinah. Beliau menulis beberapa kitab yaitu: Syarhu Fara`idh at-Tuhfah, Hasyiyah pada Muqaddimah Al-Hadhramiyyah, Fawaid Madaniyyah dan ‘Uqud ad-Durar fi Bayani Musthalahati Tuhfah ibni Hajar.

 

4.  Sulaiman bin Umar bin Manshur Al-‘Ujaili. Beliau dilahirkan di ‘Ujail (wilayah Mesir barat). Beliau pindah ke Kairo lalu mendalami ilmu-ilmu syariah di Al-Azhar. Diantara karyanya: Hasyiyatu al-Jamal pada Manhaj ath-Thullab (syarah Minhaj dari Zakaria al-Anshari).

 

5.     Sulaiman bin Muhammad Al-Bujairami. Beliau lahir di Bujairam (salah satu desa di wilayah Mesir barat). Beliau pindah ke Kairo dan menekuni fiqih Syafi’i di Al-Azhar. Diantara karyanya: Tuhaftu al-Habib ‘ala syarhi al-Khathib (merupakan hasyiyah Al-Iqna’ yang ditulis Khathib Asy-Syirbini).

 

6.   Abdullah bin Hijazi Asy-Syarqawi. Beliau lahir pada tahun 1150 H di Thawilah (desa di bagian timur Mesir. Beliau menekuni madzhab Syafi’i hingga menjadi pakar lalu menjadi guru fiqih. Karir keilmuannya terus meningkat hingga pada tahun 1208 H mendapat kepercayaan menjadi Syaikh Al-Azhar. Beliau menulis beberapa karya seperti: Tuhfah Bahiyyah fi Thabaqati asy-Syafi’iyyah dan Hasyiyah pada Tuhfatu ath-Thullab syarah Tahrir Tanqihu al-Lubab (sering disebut Hasyiyah Asy-Syarqawi ‘ala Syarhi at-Tahrir).

 

7.   Ibrahim bin Muhammad Al-Bajuri. Beliau dilahirkan pada tahun 1198 di Bajur, Mesir. Beliau berguru pada Abdullah Asy-Syarqawi dan ulama Al-Azhar lainnya di Mesir. Beliau mengemban amanah sebagai Syaikh Al-Azhar kesembilan belas pada tahun 1263 H. Majelisnya ilmu dipadati banyak orang dari berbagai kalangan. Beliau menulis kitab Hasyiyah ‘ala Syarhi Ibni Qasim fi madzhabi asy-Syafi’i, Tuhfah Khairiyyah (dalam ilmu waris), Fathu al-Fattah fi Ahkami an-Nikah dan Syarhu al-Jauharah fi at-Tauhid.

 

8.  Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi. Beliau berasal dari kota Dimyath, Mesir. Beliau menekuni madzhab Syafi’i hingga menjadi salah satu ulama besar di zamannya. Lalu beliau melakukan perjalanan ke Mekkah Mukarramah dan menetap di sana sambil menulis karya serta mengajar. Diantara karya tulisnya: I’anatu ath-Thalibin (penjelas dari Fathu al-Mu’in karya Zainuddin al-Malyabari).

 

9.  Ahmad bin Ahmad Al-Husaini. Beliau lahir di Mesir pada tahun 1271. Beliau menulis beberapa karya dalam ilmu fiqih seperti: Bahjatu al-Musytaq fi Bayani Hukmi Zakati al-Auraq, Dalil al-Musafir dan Mursyidu al-Anam.

 

10. Alawi bin Ahmad As-Saqqaf. Beliau dilahirkan pada tahun 1255 H di Mekkah. Beliau mempelajari berbagai ilmu syariah di halaqah-halaqah Masjidil Haram dan menjadi ahli dalam fiqih Syafi’i. Lalu mengajar dan menulis dalam ilmu fiqih serta berfatwa bagi orang-orang. Diantara karyanya: Tarsyihu al-Mustafidin ‘ala Fathi al-Mu’in dan Fawaid Makkiyyah fi ma Yahtajuhu Thalabatu asy-Syafi’iyyah.


§  Ciri-Ciri Khas Fase Hasyiyah

-    Masa keemasan penulisan hasyiyah (catatan pinggir atau catatan kaki pada kitab ulama sebelumnya). Hasyiyah menjelaskan kata-kata & ungkapan kalimat yang sulit melalui contoh-contoh yang sesuai dan penguraian yang gamblang. Contoh-contoh hasyiyah: Hasyiyah Qalyubi, Hasyiyah Asy-Syibramalsi, Hasyiyah Asy-Syarqawi, I’anatu ath-Thalibin dan Tarsyihu al-Mustafidin. Hasyiyah-hasyiyah tersebut menjadi pedoman utama dalam berfatwa. Hasyiyah bisa dipahami bersama dengan kitab utama yang menjadi porosnya.

 

Banyaknya hasyiyah pada zaman ini disebabkan kondisi perkembangan ilmu pengetahuan yang cenderung statis sehingga para ulama lebih fokus pada menjelaskan karya-karya sebelumnya dan tidak melakukan pengembangan baru. Muncul pula matan-matan sebagai teks ringkas ilmu fiqih agar mudah dipahami dan dihafal. Lalu diikut syarah-syarah dari matan-matan tersebut. Jika ada tambahan catatan pada syarah, dibuatlah hasyiyah. Jika ada poin-poin inti yang diambil dari hasyiyah maka ditulislah dalam sebuah taqrirat.

 

Syarah, hasyiyah maupun taqrirat lebih banyak menjelaskan tentang makna-makna lafazh dan teks namun jauh dari nuansa yang merangsang kemampuan ijtihad. Mengurai makna teks sepotong demi sepotong menguras waktu yang lama namun kurang efektif dalam mengarahkan pada tujuan fiqih yang sesungguhnya yaitu memahami hukum syariah melalui metode yang benar & tertata.

 

-    Melemahnya interaksi antara ulama Syafi’iyyah yang tersebar di berbagai negeri. Kelemahan interaksi dipicu dari terjadinya pemecahan wilayah Islam menjadi negara-negara lebih kecil yang dibatasi oleh administrasi politik. Hal itu diperparah dengan lemahnya kondisi Utsmaniyyah sebagai pusat wilayah Islam kala itu. Selain itu, banyak terjadi peperangan di berbagai wilayah Islam melawan kekuatan Kristen Eropa. Hal-hal tersebut menjadi hambatan bagi para ulama antar negeri untuk berinteraksi.

 

-      Melemahnya perkembangan penulisan ilmu ushul fiqih.

 

- Mulai terjadinya sekulerisasi dengan munculnya pembagian pengadilan menjadi dua, yaitu: pengadilan sipil dan pengadilan syariah.

Referensi:

د. أكرم يوسف عمر القواسمي, المدخل إلى مذهب الإمام الشافعي أردن: دار النفائس, 1423

Sejarah Pembentukan Madzhab Syafi’i: 

Fase Surut Bermadzhab hingga Era Fiqih Kontemporer (1335-1423 H)

§  Kemunduran Penerapan Syariah Islam

Di awal abad ke-14 hijriah, kondisi kaum muslimin terpengaruh oleh perang pemikiran & budaya dari kaum salib dengan sangat nyata. Contohnya adalah munculnya aturan-aturan legal di negeri kaum muslimin yang diambil dari undang-undang Eropa. Negeri-negeri muslimin yang tadinya tunduk pada Khilafah Utsmaniyyah mulai menyampingkan syariah Islam dan semakin parah dengan berpisahnya mereka dari negara Utsmaniyyah. Gerakan memisahkan diri tersebut dipicu oleh aksi penguasa Mekkah yaitu Syarif Husain bin Ali yang dibantu oleh Britania (Inggris) untuk keluar dari kepemimpinan Utsmaniyyah.

Dari kekacauan tersebut, muncul kondisi yang paling parah yaitu tidak diberlakukannya hukum berdasarkan syariah Islam di berbagai wilayah kaum muslimin. Muncul pula pengadilan sipil yang berhukum dengan hukum buatan manusia dalam berbagai bidang. Masih ada syariah yang tersisa di ruang pemerintahan yang berkaitan dengan pernikahan, perceraian dan waris yang diberi ruang khusus bernama pengadilan syariah/pengadilan agama. Beberapa kaum muslimin mengambil kuliah hukum legal buatan manusia lalu menjadi hakim-hakim di negeri kaum muslimin.

Dari kemunduran kondisi tersebut berefek pada lemahnya perhatian & pemahaman kaum muslimin pada hukum-hukum Islam terutama di bidang non-ibadah (muamalah, pidana, jihad, politik dan lain-lain). Muncul pula pemikiran rusak di tengah masyarakat muslim seperti komunisme dan sekulerisme. Maka semakin jauhlah kaum muslimin dari hukum-hukum Islam, warisan literaturnya dan termasuk di antaranya madzhab fiqih.

Penentuan hakim di negeri-negeri kaum muslimin tidak lagi berdasarkan madzhab fiqih dikarenakan syariah Islam itu sendiri telah digeser dari hukum dan pengadilan negara kecuali di sebagian hal. Syarat menjadi hakim pun harus memiliki ijazah dari kuliah hukum wadh’i (hukum legal buatan manusia).

Hukum-hukum Islam yang dikesampingkan berimbas pada surutnya perkembangan madzhab fiqih khususnya di kalangan masyarakat awam. Meskipun begitu, kajian madzhab Syafi’i masih ada di majelis-majelis ilmu yang ada di beberapa negeri kaum muslimin. Yang paling terkenal hingga zaman sekarang yaitu Majelis Pembelajaran Fiqih Syafi’i di Al-Azhar Kairo dan Majelis Pengajaran Fiqih di Tarim (Yaman).

§  Perkembangan Studi Fiqih Kontemporer

Meskipun kaum muslimin mengalami kemerosotan dan musibah besar yaitu tidak diberlakukannya hukum Islam secara formal dan runtuhnya simbol kepemimpinan pemersatu Islam yaitu Khilafah Utsmaniyyah melalui pengkhianatan Mustafa Kemal beserta pendukungnya, namun ada perkembangan ke arah baik setelahnya. Perkembangan itu ditandai dengan munculnya studi Islam kontemporer di berbagai bidang termasuk fiqih. Studi ini sebagai respon dari para ulama dan tokoh Islam terhadap problematika yang baru, kompleks dan drastis. Era kontemporer ini mencakup abad 14 hingga 15 H (20 hingga 21 masehi). Perkembangan studi fiqih kontemporer diwujudkan dalam 4 bentuk yaitu:

1.      Berdirinya Kuliah Syariah.

Kuliah syariah khusus mengkaji ilmu-ilmu syariah seperti aqidah, fiqih, tafsir, hadits dan lain-lain. Kuliah ini biasanya ditempuh selama 4 tahun dalam level license/bachelor/S1. Kuliah tersebut memiliki sistem khusus yang biasanya diajarkan oleh guru setingkat doktor (S3). Mahasiswa yang belajar di kuliah ini tidak dibatasi hanya pada satu guru saja. Ada tahapan ulangan untuk menguji proses pembelajaran. Jika semua ulangan bisa dilalui dengan baik maka di akhir tahun keempat sang mahasiswa bisa mendapat ijazah dan pengakuan kemampuan. Setelah lulus mereka bisa menjadi imam, khatib atau hakim pengadilan agama dan profesi lainnya.

Di antara kuliah syariah yang menonjol di era kontemporer yaitu:

- Kuliah syariah di Universitas Al-Azhar Kairo yang dibuka pada tahun 1352 H/1932 M.

-    Kuliah syariah dan studi Islam di Mekkah yang didirikan pada tahun 1369 H/1949 M lalu diikuti berdirinya Universitas Ummul Qura di Mekkah juga pada tahun 1401 H/1981 M.

-   Kuliah syariah di Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud (Riyadh) yang berdiri pada tahun 1373 H/1953 M. Universitas ini juga membuka cabang di negara lain seperti Indonesia dan Jepang.

-  Kuliah syariah di Universitas Damaskus yang berdiri pada tahun 1375 H/1955 M.

-  Kuliah syariah di Universitas Islam Madinah yang berdiri pada tahun 1381 H/1960 M.

-   Kuliah syariah di Oman yang berdiri pada tahun 1384 H/1964 M lalu bergabung dengan Universitas Yordania pada tahun 1391 H/1971 M.

-  Sekolah Tinggi Kehakiman di Riyadh yang didirikan pada tahun 1385 H/1965 M.

Sistem pembelajaran kuliah syariah memiliki perbedaan dengan gaya pembelajaran fiqih klasik yang berbentuk halaqah majelis dan berfokus pada madzhab tertentu saja. Kuliah syariah di era kontemporer sangat memperhatikan perbandingan madzhab fiqih, mengkaji dalil berbagai pendapat, mempelajari sejarah madzhab fiqih sehingga lebih mengurangi fanatisme madzhab dan menggairahkan semangat menghidupkan ijtihad.

Fenomena dominasi hukum-hukum buatan manusia pada negeri-negeri kaum muslimin menjadi tantangan besar dalam perkembangan studi fiqih kontemporer yang juga bersaing dengan studi hukum wadh’i.

2.      Ijtihad Jama’i.

Ijtihad jama’i ialah usaha maksimal yang dilakukan sekelompok ahli fiqih untuk menemukan hukum syariah melalui metode ijtihad lalu diputuskan dengan kesepakatan oleh semua ulama atau mayoritasnya setelah proses musyawarah.

Ijtihad jama’i merupakan perkara terpuji yang telah dilakukan sejak zaman sahabat. Di era kontemporer, ijtihad jama’i lebih dikembangkan dan teratur melalui forum-forum dan perkumpulan fiqih secara khusus.

3.       Perkumpulan Fiqih

Perkumpulan fiqih di era kontemporer memiliki cakupan internasional dan tidak terbatas pada satu negara tertentu saja. Perkumpulan fiqih tersebut juga jauh dari sikap fanatisme madzhab dan berkolaborasi dengan para ahli dari berbagai bidang seperti dokter, arsitek, ekonom dan lain-lain.

Perkumpulan fiqih yang paling berpengaruh di antaranya:

-          Majma’ Buhuts Islamiyyah di Kairo.

Majma’ Buhuts Islamiyyah berdiri di Kairo pada tahun 1381 H/1961 M. Perkumpulan ini membahas persoalan tidak hanya di Mesir tapi juga di negeri lain. Perkumpulan ini memiliki beberapa divisi seperti divisi penelitian fiqih, divisi turats Islami dan lain-lain. Perkumpulan ini juga menerbitkan majalah bulanan dengan nama Majalah Al-Azhar. Selain itu, Majma Buhuts Islamiyyah juga mengadakan berbagai konferensi fiqih yang dihadiri para ulama internasional.

-          Majma’ Fiqih Rabithah ‘Alam Islami

Majma’ Fiqih Rabithah ‘Alam Islami didirikan pada tahun 1398 H/1978 M. Struktur organisasinya terdiri dari ketua, wakil dan para ulama ahli dalam analisa fiqih dan ushul yang berasal dari negara yang berbeda-beda.

Perkumpulan ini biasa mengadakan daurah/kajian setiap tahun atau 2 tahun yang berdurasi 1 pekan. Di masa daurah tersebut para anggotanya berdiskusi dalam suatu topik fiqih untuk mencapai pendapat matang mengenai hukum syariah dalam permasalahan yang dibahas.

-          Majma’ Fiqih Islami Jeddah

Majma Fiqih ini dibangun atas keputusan para pemimpin negeri muslim yang berkumpul di Mekkah pada tahun 1401 H/1981 M. Dewan Majma’ terdiri dari perwakilan dari negara-negara OKI (Organisasi Konferensi Islam). Dewan ini terbagi lagi menjadi beberapa bagian seperti bagian perencanaan strategis, bagian fatwa, bagian penerjemah & publikasi dan bagian pendekatan antar madzhab.

Di antara program perkumpulan ini adalah penerbitan majalah yang berisi kegiatan daurah, pembahasan ilmiah dan hasil-hasil ijtihad fiqih yang dipilih. Majalah tersebut bernama Majalah Majma’ Fiqih Islami.

4.      Konferensi dan Seminar Fiqih Islam

Konferensi (muktamar) dan seminar ialah pertemuan atau forum yang berkumpul di dalamnya beberapa ulama muslim dari berbagai negara untuk membahas beberapa permasalahan fiqih pada tema tertentu. Pertemuan tersebut menghasilkan rekomendasi dan saran dari hasil kesepakatan atau pendapat mayoritas peserta forum. Pertemuan ini merupakan wadah untuk melakukan ijtihad jama’i.

Di antara pertemuan-pertemuan yang diadakan:

-      Konferensi Internasional I mengenai ekonomi Islam di Mekkah pada tahun 1396 H/1976 M.

-       Konferensi Internasional I mengenai penerapan syariah Islam di Khortum, Sudan pada tahun 1984 M.

-        Seminar Ijtihad Jama’i Dunia Islam di Uni Emirat Arab pada tahun 1417 H/1996 M.

-       Seminar Imam Syafi’i di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun 1411 H/1990 M.

 

§  Perkembangan Sarana Pendukung Turats Fiqih

Turats ialah warisan karya-karya dari para ulama di masa lalu yang digali dan dikaji untuk dihadirkan dalam bentuk yang lebih baik. Pada fase ini, terjadi perkembangan sarana pendukung turats fiqih dalam bentuk media cetak, ensiklopedia fiqih dan media digital. Perkembangan ini sangat memudahkan kaum muslimin di era modern untuk mengakses berbagai literatur fiqih dan ilmu syariah lainnya. Puluhan hingga ratusan buku bisa dihadirkan dalam waktu singkat yang dahulunya butuh waktu bertahun-tahun bahkan seumur hidup untuk mengumpulkannya.

§  Kondisi Pencatatan Silsilah Biografi Ulama Syafi’iyyah

Buku mengenai silsilah biografi ulama Syafi’iyyah yang pertama kali dikenal ialah Al-Mudzhib fi Dzikri Syuyukhi al-Madzhab karya Abu Hafsh Al-Mutthawwi’i Asy-Syafi’i (wafat pada tahun 440 H). Pada abad kedelapan hijriah ditulis pula karya sejenis oleh Tajuddin As-Subki dengan nama Thabaqatu as-Syafi’iyyah Kubra. Karya terakhir mengenai biografi ulama Syafi’yyah ialah Thabaqatu as-Syafi’iyyah Kubra wa Sughra yang ditulis Muhammad Yasin bin Muhammad Al-Fadani Al-Indunisi (Yasin Al-Fadani).

Syekh Yasin Al-Fadani merupakan ulama keturunan bangsa Indonesia yang lahir dan tumbuh di Mekkah. Beliau merupakan ulama madzhab Syafi’i yang terkemuka di fase kontemporer. Mendalami fiqih Syafi’i dari berbagai ulama di Masjidil Haram dan juga menguasai ilmu hadits. Di antara karya tulisnya: Bughyatu al-Musytaq syarhu Luma’ (ushul fiqih), Hasyiyah Al-Asybah wa an-Nazha`ir lis-Suyuthi (kaidah fiqih) dan lain-lain. Beliau wafat pada tahun 1410 hijriah dan dikuburkan di Mekkah.

Referensi:

د. أكرم يوسف عمر القواسمي, المدخل إلى مذهب الإمام الشافعي أردن: دار النفائس, 1423